Tuesday, 10 July 2012

Model Penelitian Tasawuf



Daftar Isi
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
1.      Pendahuluan
2.      Penelitian agama dan Penelitian Keagamaan
2.1.Penelitian Dan Penelitian Agama
2.2. Penelitian Agama Dan Penelitian Keagamaan
3        Model-Model Penelitian Keagamaan
3.1. Analisis Sejarah
3.2. Analisis lintas budaya
3.3. Eksperimen
3.4. Observasi Partisipatif
3.5. Riset Survey dan Analisis Statistik
3.6. Analisis Isi
      4.   Pengertian Tasawuf
      5.   Model-Model Penelitian Tasawuf
            5.1. Model Sayyed Husein Nasr
            5.2. Model Mustafa Zahri
            5.3. Model Kautsar Azhari Noor
            5.4. Model Harun Nasution
            5.5. Model AJ Arberry
      6.   Persyaratan Peneliti Tasawuf
7.   Tokoh-Tokoh Tasawuf dan Ajarannya
            7.1. Tokoh-Tokoh Tasawuf Klasik
            7.2. Tokoh-Tokoh Tasawuf Pertengahan
            7.3. Tokoh-Tokoh Tasawuf Era Modern
      8.   Penutup
      Daftar Pustaka
i
ii
iii
1
1
1
3
4
4
5
5
5
5
6
6
7
7
7
8
8
8
9
11
11
13
16
20
23


                                                   

1.    Pendahuluan

Penelitian dan pengajian dalam bidang ilmu tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penelitian dan pengembangan dalam Ilmu Pengetahuan Agama Islam. Oleh karena itu,perlu disinggung pula masalah penelitian Agama Islam.Ruang lingkup yang mencakup penelitian agama, yakni :
1.      Memahami dan mengkajikitab-kitab yang merupakan sumber baru dari suatu agama
2.      Mengkaji hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam pengembangan ajaran suatu agama.
3.      Perilaku dan pola-pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat umat manusia. Oleh para ahli-ahli ilmu sosial disebut fenomena keagamaan.
Tujuan penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman dan membudayakan pengamalan agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat manusia. Penelitian atau studi dalam bidang ilmu tasawuf objekya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-ulama sufi masa lampau yang telah terbukukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Adapun medan yang masih terbentang luas dan belum banyak dijamah oleh para peneliti orientalis adalah fenomena kehidupan para kelompok-kelompok sufi.
Adapun bentuk penelitian yang mudah dijalankan adalah studi kasus, yakni meneliti dan mengkaji suatu kasus ditinjau dari segala aspeknya untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman secara bulat. Ciri dari studi kasus hanya bisa dilakukan oleh seorang peneliti yang punya bekal memadai tentang ilmu tasawuf beserta kedudukannya dalam perkembangan pemikiran dan budaya keislaman, karena seorang peneliti harus peka dalam menilai data-data yang bermakna, dan kemudian menganalisisnya untuk mengadakan eksplanasi dari sejumlah data yang dikumpulkannya.

2.    Penelitian agama dan penelitian keagamaan

2.1.Penelitian Dan Penelitian Agama
Penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan[1]-penemuan baru.
Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.[2]Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid. Beliau menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti.
Menurut Harun Nasution, agama mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran
dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok kedua.
Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Para ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural. Jadi, kata Ahmad Syafi’i Mufid, kita tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian sosial terhadap agama (Ahmad Syafi’i mufid dalam Affandi Mochtar). Dengan demikian kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lainnya, yang membedakannya hanyalah objek kajian yang ditelitinya.
2.2. Penelitian Agama Dan Penelitian Keagamaan
M. Atho Mudzhar mengatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang merintisnya. Adanya ilmu ushul fiqh sebagai metode istinbath hukum dalam agama islam dan ilmu musthalahul hadist sebagai metode untuk menilai akurasi sabda Nabi Muhammad saw merupakan bukti bahwa keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan agama ini pernah muncul.Sedangkan untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial, kita tidak perlu membuat metodologi penelitian tersendiri. Ia cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada.
Dengan kata lain bahwa pendapat M. Atho Mudzhar sama dengan pendapat yang dikemukakan Harun Nasution, kalau penelitian agama sama dengan ajaran agama kelompok pertama dan penelitian keagamaan sama dengan ajaran agama kelompok kedua menurut Harun nasution.
Dalam pandangan Juhaya S. Praja, penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, jelas juhaya, terdapat dua bidang penelitian agama, yaitu sebagai berikut;
1.    Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadist.
2.    Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran agama itu.



Sedangkan penelitian hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal berikut.
  1. Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang dianutnya.
  2. Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama.
  3. Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama.
Dalam hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja ada kesamaan dengan pendapat Harun Nasution dan M. Atho Mudzhar,  akan tetapi Juhaya membagi penelitan agama menjadi dua bidang, yang pada intinya pendapatnya sama dengan pendapat Harun Nasution tentang ajaran agama kelompok pertama.
Sedangkan penelitian keagamaan menurut Juhaya adalah penelitian hidup keagamaan, yaitu penelitian terhadap praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif.

3.    Model-Model Penelitian Keagamaan
Adapun model penelitian yang ditampilkan di sini disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan. Akan tetapi, disini dikutip karya Djamari mengenai metode sosiologi dalam kajian agama, yang secara tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian agama melalui pendekatan sosiologis. Djamari, dosen pascasarjana IKIP Bandung, menjelaskan bahwa kajian sosiologi agama menggunakan metode ilmiah. Yaitu:
3.1.Analisis Sejarah
Dalam hal ini, sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga, dan pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain.
Seperti halnya agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama yang diturunkan melalui Nabiya yaitu Muhammad Saw berdasarkan kitab sucinya yaitu Al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa arab. Islam diturunkan bukan untuk satu bangsa saja melainkan untuk seluruh bangsa secara universal. Sedangkan agama lain ada yang hanya diturunkan untuk satu bangsa saja seperti yahudi untuk ras yahudi saja.[3]
Pendekatan sejarah dalam memahami agama dapat membuktikan apakah agama itu masih tetap pada orisinalitasnya seperti ketika ia baru muncul atau sudah bergeser jauh dari prinsip-prinsip utamanya. Bila hal itu dihubungkan dengan agama islam maka ia dapat dimasukkan pada kategori agama yang bertahan konsisten dengan ajaran seperti pada masa awalnya.
Menurut ahli perbandingan agama seperti A. Mukti Ali, apabila kita ingin memahami sebuah agama maka kita harus mengidentifikasi lima aspek yaitu konsep ketuhanan, pembawa agama atau nabi, kitab suci, sejarah agama, dan tokoh-tokoh terkemuka agama tersebut.[4]Agama-agama dipandang dari segi sejarahnya.[5]
3.2.Analisis lintas budaya
Analisis lintas budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi, karena dilihat dari definisi antropologi sendiri secara sederhana dapat dikatakan bahwa antripologi mengkaji kebudayaan manusia.Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw sampai saatnya kini telah melalui berbagai dimensi budaya dan adat-istiadat. Masing-masing negeri memiliki corak budayanya masing-masing dalam mengekspresikan agamanya. Karena itu dari segi antropologi kita dapat memilah-milah mana bagian islam yang merupakan ajaran murni dan mana ajaran islam yang bercorak lokal budaya setempat.
3.3.Eksperimen
Penelitian yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam penelitian agama. Namun, dalam beberapa hal,eksperimen dapat dilakukan dalam penelitian agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa model pendidikan agama.
3.4.Observasi partisipatif
Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam konteks relegius. Baik diketahui atau tidak oleh orang yang sedang diobeservasi. Dan diantara kelebihannya yaitu memungkinkannya pengamatan simbolik antar anggota kelompok secara mendalam. Adapun kelemahannya yaitu terbatasnya data pada kemampuan observer.
3.5.Riset survei dan analisis statistik
Penelitian survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sampel dari suatu populasi. Sampel bisa berupa organisasi keagamaan atau penduduk suatu kota atau desa. Prosedur penelitian ini dinilai sangat berguna untuk memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu dengan sikap sosial atau atribut keagamaan tertentu.
3.6.Analisis isi
Dengan metode ini, peneliti mencoba mencari keterangan dari tema-tema agama, baik berupa tulisan, buku-bukukhotbah, doktrin maupun deklarasi teks, dan lainnya. Umpamanya sikap kelompok keagamaan dianalisis dari substansi  ajaran kelompok tersebut
Dari model-model penelitian keagamaan diatas muncul pertanyaan bagi kita semua, apakah dari model-model penelitian keagamaan diatas bisa bermanfaat bagi agama islam? Atau justru dapat mengkaburkan agama islam itu sendiri? Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan bersama

4.      Pengertian Tasawuf
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Bidang ini mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia yang bersifat lahiriyah muapun bathiniyah (esoterik). Melalui cara-cara atau ramalan-ramalan dalam dunia kesufian, manusia diharapkan dapat tampil sebagai seorang yang berkepribadian jujur dan benar dalam segala hal. Tasawuf mulai mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif dalam mengatasi masalah-masalah keduniawian.
Tasawuf memiliki potensi dan otoritas yang tinggi dalam menangani masalah ini.
Tasawuf secara intensif memberikan pendekatan-pendekatan agar manusia selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam kesehariannya. Kehadirannya berupaya untuk mengatasi krisis akhlak yang terjadi di masyarakat islam di masa lalu (klasik) tahun 650-1250 M. Masa dimana kehidupan manusia bersifat foya-foya dan suka menghamburkan harta.
Tasawuf dari segi kebahasaan terdapat sejumlah istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya, menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari makkah ke madinah, shaf yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, shopos (bahasa yunani:hikmah) dan suf (kain wol kasar).
Ditinjau dari lima istilah di atas, maka tasawuf dari segi kebahasaan menggambarkan keadaan yang selalu beroreantasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela mengorbankan demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa sesesorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal ynag kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Selanjutnya, secara teriminologis tasawuf memiliki tiga sudut pandang pengertian.
1.     Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya penyucian diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah.
2.     Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang harus berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt.
3.     Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan. Sebagai fitrah yang memiliki kesadaran akan adanya Tuhan, diharapkan mampu mengarahkan jiwanya serta selalu memusatkan kegiatan-kegiatan pada kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan.

5.    Model –Model Penelitian Tasawuf
Terdapat beberapa model dalam penelitian tasawuf yaitu : [6]
5.1.   Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah, termasuk ke dalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf dulu dan sekarang”. Ia menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia.Ia bahkan mengemukakan bahwa terdapat tingkatan tasawuf.
5.2.   Model Mustafa Zahri
Mustafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku berjudul “kunci memahami ilmu tasawuf”. Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Ia menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran pada al-qur’an dan hadits. Ia menyajikan tentang kerohanian yang di dalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi, kunci mengenal Allah, sendi kekuatan batin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan batin, serta tarekat dan fungsinya. Ia juga menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna lailaha illa Allah.
5.3.       Model Kautsar Azhari Noor
Kautsar Azhari Noor memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan studi dengan tokoh dan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al- wujud. Paham ini timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana yang diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu, dijadikan-Nya alam ini. maka alam ini merupakn cermin bagi Allah. Dikala Ia ingin melihat dirinya, ia melihat kepada alam. Paham ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai membawa reinkarnasi, atau paham serba Tuhan, yaitu Tuhan menjelma dalam berbagai ciptanya. Dengan demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi membawa paham banyak Tuhan.
5.4.       Model Harun Nasution
Harun Nasution merupakan guru besar dalam bidang teologi dan filsafat islam dan juga menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul filsafat dan mistisisme dalam islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena langsung menuju persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa.
5.5.       Model A. J. Arberry
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan, banyak melakukan studi keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf. Dalam bukunya “pasang surut aliran tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang firman Allah, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, sruktur teori dan amalan tasawuf , tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran tasawuf. Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejaranya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentranformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas.
Selain pendapat di atas, Dalam penelitian tasawuf dan agama pada umumya cukup dengan menggunakan metode penelitian ilmu-ilmu sosial terutama analisis kesejarahan dan fenomenologi (verstehen). Verstehen artinya agar sang objek itu sendiri yang bicara megenai dirinya sendiri. Tugas peneliti semata-mata hanya merekam apa yang dirasa, dipikirkan, dipahami dan diungkapkan oleh sang objek, kemudian hasil rekaman itu kemudian dimengerti dan dianalisis oleh peneliti untuk menyusun teori. Jadi pendekatan fenomenologi atau verstehen si peneliti harus mencoba ikut terlibat dengan rasa semampu mungkin tanpa menggunakan teori terlebih dahulu. Hal ini memang agak sulit diterapkan dalam bidang tasawuf, sebab peneliti memang bukan orang sufi, tentu tidak bisa merasakan dan meyakini bahwa penghayatan kejiwaan para sufi di dalam fana’ sebagai kebenaran mutlak.
Adapun dari segi pendekatan untuk memahami fenomena keagamaan atau tasawuf. Fenomena keagamaan hanya bisa dimengerti secara utuh dan pas apabila diselamai dari sudut agamis dan bukan dari sudut ilmu sosial. Agama mempunyai kepentingan yang berbeda dengan kepentingan ilmu sosial. Penelitian agama adalah alat untuk mendukung pengembangan ajaran agama dan pengembangan pemikiran umatnya sesuai dengan tuntutan kemajuan peradaban umat manusia. Pendekatan dari sudut agama disamping menjawab masalah ilmiah, yakni apa atau bagaimana dan mengapa terjadi demikian, harus dilanjutkan pada persoalan ketiga yaitu masalah seberapa jauh hal itu bisa menunjang atau menghambat ketegaran perkembangan budaya agama dan alam pikiran umat islam. Menurut Mattulada metode yang digunakan amat tergantung pada objek studi. Tiap-tiap objek studi menentukan metode apa yang tepat untuk memahami objek studi itu.

6.      Persyaratan Peneliti Tasawuf
Penelitian tasawuf umumya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan pendekatan fenomenologis atau verstehen. Maka syarat mutlak bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup.
Syarat yang harus dimiliki peneliti tasawuf adalah :
1.      Menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme.
2.      Mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu dan bagaimana kaitannya dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang sejak pertengahan abad kedua hijriyah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminologi atau bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya “syari’at” bagi sufi pengertiannya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Menurut kacamata sufi syari’at hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jadi laku batin seperti kekhusukan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukkan dalam istilah syari’at.
Oleh karena itu, Imam Al-Qusyairi mengatakan :
فكل شريعة غير مؤيدة بالحقيقة فغير مقبول
وكل حقيقة غير  مقيدة بالشريعة  فغير محصول
“Maka setiap syari’at yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan syari’at tentu tidak ada hasilnya”.
Mengenai apa hakikat tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian yang cerah, lantaran adanya stereotyped ideas yang telah lama direntang oleh para pendukung tasawuf.
Menurut Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisisme dalam Islam intisari dari mistisisme, termasuk didalamnya sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog (langsung) antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan.
Sedangkan menurut A.S. Hornby dan kawan-kawan dalam kamus A Learner’s Dictionary of Current English adalah :
The teaching of belief that knowledge of real truth and of God may be obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind and senses.
Ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera. Jadi, penghayatan mistik itu semata-mata tanggapan kejiwaan ditengah meditasi yang dalam tasawuf dilakukan dengan sarana dzikir.
Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajarannya adalah fana’ dan kasyf. Keduanya adalah inti ajaran yang menjiwai seluruh pikiran dan perbuatan ketasawufan, tanpa keduanya tidak akan ada tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf adalah cinta rindu (hubbullah), rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatap muka secara intim (al-uns) dengan Tuhan. Makrifatullah yang berarti tatap muka langsung dengan wajah Tuhan ini hanya bisa dicapai mealui pengalaman fana’ dan kasyf. Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana dan kasyf ini, yang tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi.

7.      Tokoh-tokoh tasawuf dan ajarannya
Ada beberapa tokoh dalam ilmu tasawuf dengan ajarannya masing-masing antara lain:
7.1.Tokoh-tokoh tasawuf klasik :
1.      Abu Bakar Ash-Shiddiq (w.13 H)
Abu bakar pada mulanya adalah saudagar Quraisy yang kaya.setelah masuk islam,ia menjadi seorang yang sangat sederhana. Abu Bakar memilih takwa sebagai “pakaiannya”.ia menghiasi dirinya dengn sifat-sifat rendah hati,santun,sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir.
2.      Umar bin khathab (w.23 H)
Umar bin Khatab merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW terdekat dan khalifah kedua  Al-Khulafa Ar-Rasyidun.Ia termasuk orang yang tinggi kasih sayangnya terhadap sesame manusia.Ia berpakaian sangat sederhana ,bahkan tidak pantas untuk dipakai oleh seorang pemebsar seperti dia.Umar meneladani sikap rasulullah SAW dalam seluruh kehidupannya.Prinsip hidup sederhana ini juga diterapkan Umar di lingkungan keluarganya.Istri dan ank-anaknya dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun dari pembesar ataupun rakyatnya.
3.      Utsman bin Affan (w.35 H)
Utsman merupakan khalifah ketiga dan sahabat yang sangat berjasa pada periode awal pengembangan islam,baik pada saat Islam dikembangkan secara sembunyi-sembunyi ataupun secara terbuka.Ia dijuluki Dzu An-Nurain (memiliki dua cahaya)karena menikah dengan dua orang putri nabi Muhammad yaitu Raqayyah dan Ummu Kalsum.
Sebelum masuk Islam,Utsman bin Affan dikenal sebgai pedgang besar dan terpandang.Kekayaannya berlimpah ruah.Setelah masuk islam dengan penuh kerelaannya,ia menyerahkan sebagian besar hartanya untuk perjuangan islam dan membela orang-orang miskin dan teraniaya.Adapun dalam kehidupan  kesehariannya,ia sellau hidup sederhana.dengan hal ini,jelaslah bahwa pada diri Ustman  terdapat jiwa-jiwa sufi yang tidak tertarik pada kegermelapan kekayaan dan kesenangan duniawi.
4.      Hasan al-Bashri
Prinsip ajaran Hasan al-Bashri (21-110 H) yang bertautan dengan hidup keruhanian senntiasa diukur dengan sunah Nabi,bahkan dialah yang mula-mula memperbincangkan berbagai masalah yang berkaitan dengan hidup keruhanian,juga tentang Ilmu Akhlak yang erat hubungannya dengan menyucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela.Diantara gubahannya yang senantiasa menjadi buah bibir kaum sufi adalah:
Anak Adam,dirimu,dirimu.Dirimu hanya Satu
Kalau ia selamat,selamtlah engkau
Kalau ia binasa,binasalah engkau
Dan orang yang selama tidak dapat menolongmu
Dan tiap-tiap nikmat yang bukan surga adalah hina
Dan tiap-tiap malapetaka yang bukan neraka adalah mudah.
5.      Abu yazid al-Busthami
Dalam sejarah tasawuf,abu Yazid al-Busthami (w. 261 H/876 M) disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa.Nama kecilnya adalah Thaifur.Namanya sangan istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya.
Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu bukanlah kata-katanya sendiri tetapi diucapkan melalui Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan.Dengan demikian,sebenarnya Abu yazid tidak mengakui dirinya Tuhan.Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana dan baqa yang dalam tahap selanjutnya melahirkan ittihad.Hanya saja dalam literature klasik,pembahasan tentang ittihat ini tidak ditemukan.Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajran ini sangat sulit dipraktikkan.Abu yazid adalah seorang Zahid yang terkenal.Zahid adalah  seseorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup zuhud demi kedekatannya dengan Allah.Disini,zuhud dikerjakan melalui tiga fase,yaitu zuhud terhadap dunia,zuhud terhadap akhirat,dan zuhud terhadap akhirat,dalam fase terakhir ini seseorang tidak mengingat apa-apa selain allah (fana al-nafs)
Dengan fana-nya,Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadhirat Tuhan.Dia berada dekat dengan Tuhan hingga mencapai ittihad.Al-fana secara bahasa berarti hilangnya wujud sesuatu.Al-fana berbeda dengan al-fasad (rusak),fana artinya tidak tampaknya sesuatu,sedangkan rusakadalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.Dalam hubungan ini,ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dengan benda –benda yang bersifat alam,Ibn Sina mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaannya,bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya,hilangnya benda alam itu dengan cara fana,bukan dengan cara rusak.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana, adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah,akhlak yang tercela,kebodohan,dan perbuatan maksiat dari diri manusia.sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan,akhlak yang terpuji,ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat.untuk mencapai baqa perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir,beribadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.


7.2.Tokoh-tokoh tasawuf pertengahan :
1.         AL-Junaid
Al- Junaid  adalah tokoh sufi yang luar biasa. Dia teguh dalam menjalankan agamadan sangat mendalam jiwa kesufianya. Dia juga ahli fiqih dan memberi fatwa menurut madzhab abu tsauri dan bersahabat dengan imam syafi’i menurutnya “ tasawuf ialah zikir bersama-sama, mendengar dan beramal. Apa yang keluar keluar dari seorang sufitidak lain merupakan hal yang berguna”, Diantara banyak tokoh sufi pada abad ketiga, al-Junaid-lah yang paling mendalam  pemahamannya. Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qasim al Junaid. al Junaid digelari Syeikh al-Thaifah (guru kelompok sufi). Keluarga al Junaid berasal dari Nehwand beliau lahir dan dewasa di Irak beliau berguru pada pamannya, al-Sirri al-Saqathi serta pada al-Harits ibn ‘Asad al-Muhasabi (meninggal tahun 297 H).Al Junaid adalah tokoh penting dalam ilmu tasawuf, beliau memadukan syariat dan hakikat , metode-metodenya diikuti oleh al-Ghazali dan al-Syadzili.

2.         Mansur Al-Hallaj

Husain ibn Mansur Al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."
3.         Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.  Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
Karya
v  Teologi
1.          Al-Munqidh min adh-Dhalal
2.          Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
3.          Al-Risalah al-Qudsiyyah
4.          Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
5.          Mizan al-Amal
6.          Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah
v  Tasawuf
1.          Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama) merupakan karyanya yang terkenal
2.          Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
3.          Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
v  Filsafat
1.          Maqasid al-Falasifah
2.          Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).
v  Fiqih
1.          Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
4.     Said Ibn Jubair
Namanya adalah Said bin Jubair, ia seorang pemuda yang bertubuh kekar, berperawakan sempurna, cekatan, gesit dan rajin. Disamping itu ia adalah seorang yang pandai, cerdas, getol terhadap hal-hal mulia dan jauh dari yang haram. Pemuda yang berasal dari Habsyah namun loyal kepada bangsa Arab ini, mengetahui bahwa ilmu adalah jalannya yang lurus yang akan menghantarnya kepada Allah. Dan bahwa ketakwaan merupakan jalannya yang terbentang untuk mencapai surga. Maka, ia menjadikan takwa di sebelah kanannya dan ilmu di sebelah kirinya dan mengikat kedua tangannya dengannya. Dengan takwa dan ilmu ia bertolak menghabiskan perjalanan hidup tanpa putus asa dan rasa jemu.
Said ibn Jubair mengikuti Abdullah Ibnu Abbas sebagaimana bayangan sesuatu yang selalu menempel. Ia belajar al-Qur’an dan tafsir serta hadits dan detailnya dari beliau. Ia juga memperdalam agama dan belajar tafsir kepadanya, ia mempelajari bahasa sehingga sangat menguasainya. Hingga begitu ia pergi tidak ada seorang pun di muka bumi dari penduduk zamannya kecuali pasti akan membutuhkan ilmunya.
5.    Junaidi Al Baghdadi
Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Tahun kelahiran Imam Junaid tidak dapat dipastikan. Tidak banyak dapat ditemui tahun kelahiran beliau pada biografi lainnya. Beliau adalah orang yang terawal menyusun dan memperbahaskan tentang ilmu tasauf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu tasauf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi.Imam Junaid adalah seorang ahli perniagaan yang berjaya. Beliau memiliki sebuah gedung perniagaan di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan menguruskan perniagaannya sebagaimana setengah peniaga lain yang kaya raya di Baghdad.
6.      AL- Harawi
Nama lengkap Al-harawi adalah abu isma’il bin muhammad Al- anshari, lahir tahun 396 H di herat, kawasan khurasan. Ia adalah seorang faqih aliran hambaliyyah yang terkenal karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang bernilai. Karyanya yang paling terkenal adalah manazil as-sa’irin ila robb al-alamin yang mendapat komentar ataupun syarah dari beberapa ahli. Komentar yang terpenting adalah dari ibnu Qoyyim (w. 751 H) yang dikenal dengan madarij as-salikin.
Al- Harawi adalah penyusun teori kefanaan dalam kesatuan, yang mirif teori al-junaid. Teorinya lalu diberi komentar dan di pertahankan oleh ibnu Qoyyim dalam karyanya, madarij as-salikin , yang menekankan terdapatnya perbedaan kefanaan dalam kesatuan dengan penyatuan atau panteisme.
Dalam kedudukanya sebagai seorang penganut aliran sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan – ungkapanya. Ia pun mengemukakan bahwa tingkatan ketentraman yang timbul dari ridho allah SWT. Sebagai pencegah keganjilan ungkapan-ungkapan.

7.3.Tokoh-tokoh tasawuf era modern :
1.    Hamzah Fansuri
Hamzah fansuri adalah seorang ahli tasawuf asli Melayu yang senang mengembara menjelajahi Timur Tengah, Syam, malaya, dan beberapa pulau di Nusantara. Dia menulis karya dalam eberapa bahasa, eperti arab, persia, dan melayu. Karyanya antara lain syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Asrar al-‘Arifi, dan Syarabul ‘Asikin. Pemikiran dan ide-idenya merupakan perpaduan antara tasawf, filsafat, dan Ilmu Kalam. Ia berasal dari daerah Barus dan kemunculannya dienal pada masa kekuasaan Sultan alauddin Ri’ayat Syah di aceh pada abad ke-16 m.
Sebagian ajarnnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a)         Wujud
Wujud hanyalah satu, meskipun kelihatannya banyak. Wujud yang satu itu berkulit dan berisi, ada kenyataan lahir dan batin. Wujud ini mempunyai tujuh martabat:
1.          Ahadiyah, hakikat sejati dari Allah
2.          Wahda, hakikat dari Muhammad
3.          Wahdiyah, hakikat dari Adam
4.          Alam Arwah, hakikat dari nyawa
5.          Alam Mitsak, hkikat dari segala bentuk
6.          Alam Ajsam, hakikat dari tubuh
7.          Alam Insn, hakikat dari manusia
Semuanya berkumpul pada yang satu. Itulah ahadiyah,itulah allah dan itulah Aku.
b)         Allah
Allah adalah dzat yang Mutlak dan Qadim, First causal (sebab pertama) dan pencipta alam semesta. DzatAllh bisa ditamsilkan seperti laut yang dalam, laut batiniah. Tuhan itu adapada diri manusia, tetapi tidak identik dengan alam. Allah bersifat Qadim, Hidup, Berilmu, Berkehendak, Berkuasa, Berkata, Mendengar, dan Melihat.
c)         Penciptaan
Sebenarnya hakikat dari dzat Allah itu adalah Mutlak dan la ta’ayun (tidak dapat ditentukan/dilukiskan). Dzat yang mutlak itu mencipta dengan cara menyatakan diri-Nya dalam uatu proses penjelmaan , yaitu pengaliran kembali kepadaNya (taraqi).
d)        Manusia
Meskipun manusia merupakan tingkat terkhir dari penjelmaan, akan tetapi manusia adalah tingkat yang paling penting dan merupakan penjelmaan yng paling penuh (sempurna). Ia adalah aliran/ pancaran langsung dari Dzat Allah yang mutlak. Hal ini menunjukkan adanya kesatuan antara Allah dan manusia.
e)         Perlepasan
Yang dicita-citakan oleh hamzah Fansuri dalam pelepasan ini ialah penjauhn diri dar dunia ini secara total. Untuk itu, seseorang harus menempuh empat tingkatan jalan, yaitu syariat, Tarikat, hakikat, dan Ma;rifat.
Menurut Hamzah Fansuri, manusia bisa menyelusuri empat  alam, yaitu:
1.      Alam Nasut adalah suatu tingkatan bahwa setiap manusia berada menurut kodratnya. Pada tingkat iniseseorang dianggap baru mulai.
2.      Alam Malakut adalah suatu tingkatan di mana seseorang harus melalui jalan ruhani.
3.      Alam Jabarut adalah suatu tingakatan di mana terjadi ?”pertemua” antara hamba dengan Tuhan. Di sini, manusia harus mengenal Allah dengan pengetahuan sempurna, tidak melekat dan atau tergantug pada keluarga, harta, dan kedudukan yang menjadi miliknya serta tidak henti-henti menyebut Allah serta mencintaiNya.
4.      Alam fana adalah alam ma’rifat, yaitu tingkatan yang oaling tinggi dan sempurna sekaligus merupakan rahasia Nabi.
2.    Abdur Rauf Singkel
Nama lengkapnya ialah Syekh abdur Rauf bin ali al-fansuri al-Jawi, lahir di Fansur pada tahun 1620 M dn meninggal di Kuala tahun 1693 M. Beliau banyak belajar di negeri-negeri Arb seperti di Mekah, meinah, Jeddah dan lain-lain. Ia pernah belajar kepada Syekh Ahmad Qushashi dan kepada Syekh Maulana Ibrahim (Khalifah Tharikat Syattariyah) yang pada waktu itu berpusat di Mekah, hingga memperoleh ijazah thariqat Syattariyah ini.
Abdur Rauf sebenarnya oleh dikatakan tidak mempunyai paham atau ajaran yang tersendiri. Dalam masalah keagamaan, beliau mengikui paham ahlussunnah waljama’ah dan khusus dalam bidang fiqih beliau adalah pengikut syafi’iyyah, sedangkan dalam tasawuf mengikuti thariqat syattariyah dan paham-paham ini pulalah yang ia sebarkan di dalam semua kegiatan dakwahnya. Karenanya kitab-kitab yang ditulisnya –pun adalah sesuai dengan paham-paham tersebut tadi. Kitab yang ditulisnya menerangkan tentang hukum-hukum menurut Syafi’i, sebagai pegangan untuk soal-soal masyarakat, politik, dan agama. Praktek tasawufyaitu zikir dan sedikit otobiografinya. Dan mengenai uraian tentang perilaku dan akhlak.
Beberapa paham Abdur Rauf:
1.         Kejadian manusia
Abdur Rauf berpendapat, bahwa sebelum makhluk ini diciptakan, semuanya berada dalam ilmu Allah yang disebut a’yah tsabitah. Allah berfikir dan memikirkan dirinya sendiri menurut ilmuNya yang tak dapat kita ketahui. Akibat pemikirannya itu keluarlah materi yang disebut ‘ayan kharijah.
2.         Mengenai hati
Di dalam pembahasannya, ia membagi hati itu kedalam tujuh golongan atau martabar, yaitu:
a)        Hati yang mati, ialah hatinya orang kafir, hatinya ini adalah seperti syaitan, 
b)        Hati yang munafiq, seperti hatinya hewn
c)        Hati yang fasiq, ialah hati yang tidak tertarik kepada kebenaran
d)       Hati yang tawjjuh, yang selalu menghadap kepada Allah
e)        Hati yang mujarrad, ialah hatiyang telah terbuka untuk bertemu dengan Allah
f)         Hati rabbani, yaitu hati yang sudah panta dapat bertemu dengan Allah dan      inilah yang paling tinggi dan paling sempurna
3.         Dzikir
Menurut Abdu rauf, dzikir ialah membersihkan diri dari goflat dan nisyan (lupa) dengan menghadirkan yang Hak di dalam hati secara terus-menerus. Dzikir ini dilakukan secara terus-menerus, agar dengan demikian bis memperoleh pengaruh/ manfaat dan dzikir yang paling populer dalam thariqat ialah ucapan atau kalimat “Lailahaillallah”
Abdur Rauf membuat tingkatan-tingkatan orang pengikut dzikir itu sebagai berikut:
a)        Tingkat mubtadi: yaitu yang masih nyata sifat basyariatnya dan was-wasnya dalam waktu dzikir. Dan kalimat dzikir yang dibacanya ialah”la ma’bud illallah.”
b)        Tingkat mutawwasit: yaitu yang telh bersih sifat basyariatnya dan was-was padanya, hanya ia mengarah kepada Tuhsn dengan dzauq dan kalimat dzikir yang dibacanya ialah “la mathlub illallah.”
c)        Tingkat muntahi: yaitu dimana segala kekhawatiran dan was-was apa saja dalam hatinya telah hapus dan lenyap sama sekali dalam dzikir, ingatannya hanya Allah semata-mata.
3.     Metode Manajemen Qolbu
Manajemen qolbu atau manajemen menata hati bertujuan membentuk manusia berhati ikhlas, berpandangan positif, dan selalu menata hati berdasarkan keimanan kepada Allah SWT. K.H.Adbdullah Gymnastiar (Aa gym) adalah pelopor dari Manajemen Qolbu ini. Dia dilahirkan di Bandung pada tanggal 29 Januari 1962. Mendirikan Pesantren “Virtual” Daarut Tauhid, di kawasan gegerkalong Girang, Bandung utara.Apa yang diajarkan Aa Gym sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diajarkan oleh para ulama terdahulu, tetapi dia mampu mengemasnya secara apik dalam konteks kemodernan. Aa Gym mampu menyampaikan pesan-pesan Manajemen Qolbunya secara ringan, sederhana, dan mudah ditangkap berbagai kalangan masyarakat.
Menurut Aa Gym ilmu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak makiatnya. Semakin bersih hati seseorang maka dia akan dikaruniai kepekaan oleh Allah untuk mendaatlkan ilmu yang bermanfaat ari mana pun. Selain itu, dia juga diberi kesanggupan untuk menolak sehla sesuatu yang akan membawanya kepada kemadharatan.  Untuk memperoleh hatiyang selalu bersih dan bercahaya kita harus selalu menata hati, memperindah hati, dan menghidupkan hati nurani dengan cara menjaga pandangan, menjaga lisan, memelihara perut, dan memilih pergaulan. Kita harus mempunyai hati yang mampu menyelamatkan kita.
Metode manajemen qolbu yang diterapkan aa gy tidak hanya diterima oleh umat Islam, tetapi juga masyarakat yang beragaa selain Islam. Inilah salah satu alasan memasukkan Manajemen Qolbu sebagai metode modern.
4.         Metode Zikir
Metode Zikir dikembangkan oleh K.H. Arifin Ilham, seorang kiai muda yang mempunyai suara serak yang khas, melalui majelis zikirnya di Jakarta. Sama seperti Abdullah Gymnastiar, apa yang dilakukan oleh Arifin Ilham sebenarnya juga tlah dikembangkan oleh para ulama terdahulu, terutama oleh para ahli tasawuf dan para sufi. Arifin Ilham berhasil membangkitkan kembali etos zikir yang mulai ditinggalkan umat. Meski ada ulama yang kurang setuju dengan metode zikir berjamaah ini, tetapi metode zikir yang dikembangkan arifin Ilham diminati oleh masyarakat luas, khusunya yang mengalami kekeringan hati dan kegundahan jiwa.

8.         Penutup
Penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum.Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Metode ilmiah adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis. Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Tujuan penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman dan membudayakan pengamalan agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat manusia.Harun nasution menyatakan bahwa karena agama merupakan wahyu maka tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial.Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam penelitian agama yakni analisis sejarah, analisis lintas budaya, eksperimen, observasi partisipatif, riset survei dan analisis statistik, dan analisis isi.
M. Atho Mudzhar mengatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang merintisnya. Sedangkan untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial. M. Atho Mudzakar berpendapat bahwa tidak perlu membuat metodologi penelitian tersendiri untuk meneliti agama karena dapat metodologi penelitian sosial yang telah ada.
Penelitian dan pengajian dalam bidang ilmu tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penelitian dan pengembangan dalam Ilmu Pengetahuan Agama Islam. Penelitian atau studi dalam bidang ilmu tasawuf objekya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-ulama sufi masa lampau yang telah terbukukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Definisi tasawuf adalah salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Bidang ini mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia yang bersifat lahiriyah muapun bathiniyah (esoterik).
Terdapat beberapa model dalam penelitian tasawuf yaitu :Model Sayyed Husein Nasr yang menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah, Model Mustafa Zahri :penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf, Model Kautsar Azhari Noor yang memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan studi dengan tokoh dan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al- wujud.
Model Harun Nasution yang menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena langsung menuju persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa.
Model A. J. Arberry yang menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejaranya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentranformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas. Selain itu dapat menggunakan metode fenomenologi (verstehen). Verstehen artinya agar sang objek itu sendiri yang bicara megenai dirinya sendiri. Agar penelitian tasawuf hasilnya lebih baik maka peneliti hendaklah memahami istilah-istilah dalam tasawuf dan mengerti hakikat tasawuf.
Selain penjelasan mengenai metode penelitian, dalam makalah ini juga diulas beberapa tokoh-tokoh tasawuf beserta ajarannya. Tokoh-tokoh tasawuf ini terbagi menjadi tiga kategori yakni tokoh-tokoh klasik seperti Abu Bakar, Umar, Usman; tokoh-tokoh abad pertengahan seperti Al Junaid dan tokoh modern seperti AA Gym.

















Daftar Pustaka

Ali , Mukti, metode memahami agama islam, Jakarta: Bulan bintang, 1991, hal. 37-38

Buchori , Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005, cet.I, hal. 118

Buchori , Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam, hal. 119

Hakim, Atang Abd, Drs., MA, Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008, cet. Kesepuluh, hal. 55

Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pres











[1]Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008, cet. Kesepuluh, hal. 55
[2]Ibid, hal. 56
[3]Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005, cet.I, hal. 118
[4]A. Mukti Ali, metode memahami agama islam, Jakarta: Bulan bintang, 1991, hal. 37-38
[5]Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, hal. 119
[6]Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pres

No comments: