Daftar
Isi
Halaman
Judul
Kata
Pengantar
Daftar
Isi
1.
Pendahuluan
2.
Penelitian agama dan Penelitian Keagamaan
2.1.Penelitian Dan Penelitian Agama
2.2. Penelitian Agama Dan Penelitian Keagamaan
3
Model-Model
Penelitian Keagamaan
3.1. Analisis Sejarah
3.2. Analisis lintas budaya
3.3. Eksperimen
3.4. Observasi Partisipatif
3.5. Riset Survey dan Analisis
Statistik
3.6. Analisis Isi
4.
Pengertian Tasawuf
5.
Model-Model Penelitian Tasawuf
5.1. Model Sayyed Husein Nasr
5.2. Model Mustafa Zahri
5.3. Model Kautsar Azhari Noor
5.4. Model Harun Nasution
5.5. Model AJ Arberry
6.
Persyaratan Peneliti Tasawuf
7. Tokoh-Tokoh Tasawuf dan Ajarannya
7.1. Tokoh-Tokoh Tasawuf Klasik
7.2. Tokoh-Tokoh Tasawuf
Pertengahan
7.3. Tokoh-Tokoh Tasawuf Era
Modern
8.
Penutup
Daftar Pustaka
|
i
ii
iii
1
1
1
3
4
4
5
5
5
5
6
6
7
7
7
8
8
8
9
11
11
13
16
20
23
|
1.
Pendahuluan
Penelitian dan
pengajian dalam bidang ilmu tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penelitian
dan pengembangan dalam Ilmu Pengetahuan Agama Islam. Oleh karena itu,perlu
disinggung pula masalah penelitian Agama Islam.Ruang lingkup yang mencakup
penelitian agama, yakni :
1.
Memahami
dan mengkajikitab-kitab yang merupakan sumber baru dari suatu agama
2.
Mengkaji
hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam
pengembangan ajaran suatu agama.
3.
Perilaku
dan pola-pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada di
tengah-tengah masyarakat umat manusia. Oleh para ahli-ahli ilmu sosial disebut
fenomena keagamaan.
Tujuan penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman dan
membudayakan pengamalan agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat
manusia. Penelitian atau studi dalam bidang ilmu tasawuf objekya bisa berwujud
ajaran-ajaran ulama-ulama sufi masa lampau yang telah terbukukan dalam
kitab-kitab kuning ataupun yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Adapun medan
yang masih terbentang luas dan belum banyak dijamah oleh para peneliti
orientalis adalah fenomena kehidupan para kelompok-kelompok sufi.
Adapun bentuk
penelitian yang mudah dijalankan adalah studi kasus, yakni meneliti dan
mengkaji suatu kasus ditinjau dari segala aspeknya untuk memperoleh pengetahuan
dan pemahaman secara bulat. Ciri dari studi kasus hanya bisa dilakukan oleh
seorang peneliti yang punya bekal memadai tentang ilmu tasawuf beserta
kedudukannya dalam perkembangan pemikiran dan budaya keislaman, karena seorang
peneliti harus peka dalam menilai data-data yang bermakna, dan kemudian
menganalisisnya untuk mengadakan eksplanasi dari sejumlah data yang
dikumpulkannya.
2.
Penelitian agama dan penelitian
keagamaan
2.1.Penelitian Dan Penelitian Agama
Penelitian
(Research)
adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan
menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya
pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuan
manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat
penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu
melalui penemuan[1]-penemuan
baru.
Penelitian
itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode
keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban
tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.[2]Sedangkan
penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah
lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa
agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu
sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang
berbeda dengan metode ilmu sosial.
Hal yang
sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid. Beliau menjelaskan bahwa agama
sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama
merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama
memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti.
Menurut
Harun Nasution, agama mengandung dua kelompok ajaran. Pertama,
ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia.
Ajaran
dasar
yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat
dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti dan cara
pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama membentuk
ajaran agama kelompok kedua.
Ajaran
dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut, mutlak benar,
kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama
terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil
pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran
agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai
dengan perkembangan zaman.
Para
ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau
penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural. Jadi,
penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan
meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama.
Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau
filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial
berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural. Jadi, kata Ahmad Syafi’i
Mufid, kita tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian
sosial terhadap agama (Ahmad Syafi’i mufid dalam Affandi Mochtar). Dengan
demikian kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian
lainnya, yang membedakannya hanyalah objek kajian yang ditelitinya.
2.2. Penelitian
Agama Dan Penelitian Keagamaan
M. Atho
Mudzhar mengatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian
keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode
penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama yang sasarannya
adalah agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi
penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang merintisnya. Adanya
ilmu ushul
fiqh sebagai metode istinbath hukum dalam agama islam
dan ilmu musthalahul
hadist sebagai metode untuk menilai akurasi sabda Nabi Muhammad saw
merupakan bukti bahwa keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian
tersendiri bagi bidang pengetahuan agama ini pernah muncul.Sedangkan untuk
penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial, kita tidak
perlu membuat metodologi penelitian tersendiri. Ia cukup meminjam metodologi
penelitian sosial yang telah ada.
Dengan
kata lain bahwa pendapat M. Atho Mudzhar sama dengan pendapat yang dikemukakan
Harun Nasution, kalau penelitian agama sama dengan ajaran agama kelompok
pertama dan penelitian keagamaan sama dengan ajaran agama kelompok kedua
menurut Harun nasution.
Dalam
pandangan Juhaya S. Praja, penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul
agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap
ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, jelas juhaya, terdapat dua
bidang penelitian agama, yaitu sebagai berikut;
1.
Penelitian
tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu
hadist.
2.
Pemikiran
dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran agama itu.
Sedangkan
penelitian hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran
agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Berdasarkan
batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal berikut.
- Perilaku
individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama
yang dianutnya.
- Perilaku
masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang
lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama.
- Ajaran
agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat
beragama.
Dalam
hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja ada kesamaan dengan
pendapat Harun Nasution dan M. Atho Mudzhar, akan tetapi Juhaya membagi
penelitan agama menjadi dua bidang, yang pada intinya pendapatnya sama dengan
pendapat Harun Nasution tentang ajaran agama kelompok pertama.
Sedangkan
penelitian keagamaan menurut Juhaya adalah penelitian hidup keagamaan, yaitu
penelitian terhadap praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia
secara individual dan kolektif.
3.
Model-Model
Penelitian Keagamaan
Adapun
model penelitian yang ditampilkan di sini disesuaikan dengan perbedaan antara
penelitian agama dan penelitian keagamaan. Akan tetapi, disini dikutip karya
Djamari mengenai metode sosiologi dalam kajian agama, yang secara tidak
langsung memperlihatkan model-model penelitian agama melalui pendekatan
sosiologis. Djamari, dosen pascasarjana IKIP Bandung, menjelaskan bahwa kajian
sosiologi agama menggunakan metode ilmiah. Yaitu:
3.1.Analisis Sejarah
Dalam
hal ini, sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa
sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya
suatu lembaga, dan pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter
agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain.
Seperti
halnya agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama yang diturunkan
melalui Nabiya yaitu Muhammad Saw berdasarkan kitab sucinya yaitu Al-Qur’an
yang ditulis dalam bahasa arab. Islam diturunkan bukan untuk satu bangsa saja
melainkan untuk seluruh bangsa secara universal. Sedangkan agama lain ada yang
hanya diturunkan untuk satu bangsa saja seperti yahudi untuk ras yahudi saja.[3]
Pendekatan
sejarah dalam memahami agama dapat membuktikan apakah agama itu masih tetap
pada orisinalitasnya seperti ketika ia baru muncul atau sudah bergeser jauh
dari prinsip-prinsip utamanya. Bila hal itu dihubungkan dengan agama islam maka
ia dapat dimasukkan pada kategori agama yang bertahan konsisten dengan ajaran
seperti pada masa awalnya.
Menurut
ahli perbandingan agama seperti A. Mukti Ali, apabila kita ingin memahami
sebuah agama maka kita harus mengidentifikasi lima aspek yaitu konsep
ketuhanan, pembawa agama atau nabi, kitab suci, sejarah agama, dan tokoh-tokoh
terkemuka agama tersebut.[4]Agama-agama
dipandang dari segi sejarahnya.[5]
3.2.Analisis lintas budaya
Analisis
lintas budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi, karena dilihat dari
definisi antropologi sendiri secara sederhana dapat dikatakan bahwa antripologi
mengkaji kebudayaan manusia.Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw
sampai saatnya kini telah melalui berbagai dimensi budaya dan adat-istiadat.
Masing-masing negeri memiliki corak budayanya masing-masing dalam
mengekspresikan agamanya. Karena itu dari segi antropologi kita dapat
memilah-milah mana bagian islam yang merupakan ajaran murni dan mana ajaran
islam yang bercorak lokal budaya setempat.
3.3.Eksperimen
Penelitian
yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam penelitian agama. Namun,
dalam beberapa hal,eksperimen dapat dilakukan dalam penelitian agama, misalnya
untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa model pendidikan
agama.
3.4.Observasi partisipatif
Dengan
partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang
dalam konteks relegius. Baik diketahui atau tidak oleh orang yang sedang
diobeservasi. Dan diantara kelebihannya yaitu memungkinkannya pengamatan simbolik
antar anggota kelompok secara mendalam. Adapun kelemahannya yaitu terbatasnya
data pada kemampuan observer.
3.5.Riset survei dan analisis statistik
Penelitian
survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sampel dari
suatu populasi. Sampel bisa berupa organisasi keagamaan atau penduduk suatu
kota atau desa. Prosedur penelitian ini dinilai sangat berguna untuk
memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu dengan sikap
sosial atau atribut keagamaan tertentu.
3.6.Analisis isi
Dengan
metode ini, peneliti mencoba mencari keterangan dari tema-tema agama, baik
berupa tulisan, buku-bukukhotbah, doktrin maupun deklarasi teks, dan lainnya.
Umpamanya sikap kelompok keagamaan dianalisis dari substansi ajaran
kelompok tersebut
Dari
model-model penelitian keagamaan diatas muncul pertanyaan bagi kita semua,
apakah dari model-model penelitian keagamaan diatas bisa bermanfaat bagi agama
islam? Atau justru dapat mengkaburkan agama islam itu sendiri? Sebuah
pertanyaan yang patut kita renungkan bersama
4. Pengertian Tasawuf
Tasawuf
merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak
mulia. Bidang ini mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia
yang bersifat lahiriyah muapun bathiniyah (esoterik). Melalui cara-cara atau
ramalan-ramalan dalam dunia kesufian, manusia diharapkan dapat tampil sebagai
seorang yang berkepribadian jujur dan benar dalam segala hal. Tasawuf mulai
mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif dalam
mengatasi masalah-masalah keduniawian.
Tasawuf memiliki potensi dan otoritas yang tinggi dalam menangani masalah ini.
Tasawuf memiliki potensi dan otoritas yang tinggi dalam menangani masalah ini.
Tasawuf
secara intensif memberikan pendekatan-pendekatan agar manusia selalu merasakan
kehadiran Tuhan dalam kesehariannya. Kehadirannya berupaya untuk mengatasi
krisis akhlak yang terjadi di masyarakat islam di masa lalu (klasik) tahun
650-1250 M. Masa dimana kehidupan manusia bersifat foya-foya dan suka
menghamburkan harta.
Tasawuf
dari segi kebahasaan terdapat sejumlah istilah yang dihubungkan orang dengan
tasawuf. Harun Nasution misalnya, menyebutkan lima istilah yang berhubungan
dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah
dengan nabi dari makkah ke madinah, shaf yaitu barisan yang dijumpai dalam
melaksanakan shalat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, shopos (bahasa
yunani:hikmah) dan suf (kain wol kasar).
Ditinjau
dari lima istilah di atas, maka tasawuf dari segi kebahasaan menggambarkan
keadaan yang selalu beroreantasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan
Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela mengorbankan
demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya
membawa sesesorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal ynag kuat dan efektif
terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Selanjutnya,
secara teriminologis tasawuf memiliki tiga sudut pandang pengertian.
1.
Pertama,
sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Tasawuf dapat didefinisikan
sebagai upaya penyucian diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia
dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah.
2.
Kedua,
sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang
harus berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri dengan akhlak yang
bersumber pada ajaran agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt.
3.
Ketiga,
sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan. Sebagai fitrah yang memiliki
kesadaran akan adanya Tuhan, diharapkan mampu mengarahkan jiwanya serta selalu
memusatkan kegiatan-kegiatan pada kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan.
5. Model –Model Penelitian Tasawuf
Terdapat
beberapa model dalam penelitian tasawuf yaitu : [6]
5.1. Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed
Husein Nasr merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam melahirkan
berbagai karya ilmiah, termasuk ke dalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya
disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf dulu dan sekarang”. Ia
menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang
mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Dengan
penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf
yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan bahwa tasawuf merupakan
sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai
keutuhan manusia.Ia bahkan mengemukakan bahwa terdapat tingkatan tasawuf.
5.2. Model Mustafa Zahri
Mustafa
Zahri memusatkan perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku berjudul
“kunci memahami ilmu tasawuf”. Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni
menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Ia menekankan
pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh
para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran pada al-qur’an dan hadits.
Ia menyajikan tentang kerohanian yang di dalamnya dimuat tentang contoh
kehidupan nabi, kunci mengenal Allah, sendi kekuatan batin, fungsi kerohanian
dalam menenteramkan batin, serta tarekat dan fungsinya. Ia juga menjelaskan
tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna
lailaha illa Allah.
5.3. Model Kautsar Azhari Noor
Kautsar
Azhari Noor memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka
disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan
studi dengan tokoh dan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al-
wujud. Paham ini timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana yang diterangkan
dalam uraian tentang hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Oleh
karena itu, dijadikan-Nya alam ini. maka alam ini merupakn cermin bagi Allah. Dikala
Ia ingin melihat dirinya, ia melihat kepada alam. Paham ini telah menimbulkan
kontroversi di kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai membawa
reinkarnasi, atau paham serba Tuhan, yaitu Tuhan menjelma dalam berbagai
ciptanya. Dengan demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi membawa paham
banyak Tuhan.
5.4. Model Harun Nasution
Harun
Nasution merupakan guru besar dalam bidang teologi dan filsafat islam dan juga
menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang
berjudul filsafat dan mistisisme dalam islam, ia menggunakan metode tematik,
yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada
Tuhan, zuhud dan stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana,
al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai
lebih menarik karena langsung menuju persoalan tasawuf dibandingkan dengan
pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat
deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya
sedemikian rupa.
5.5.
Model
A. J. Arberry
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan, banyak
melakukan studi keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf. Dalam bukunya
“pasang surut aliran tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan pendekatan
kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan
pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang firman Allah, kehidupan nabi,
para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, sruktur teori dan amalan
tasawuf , tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran tasawuf.
Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis
kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks
sejaranya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentranformasikan
ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas.
Selain pendapat di atas, Dalam penelitian tasawuf dan agama pada umumya
cukup dengan menggunakan metode penelitian ilmu-ilmu sosial terutama analisis
kesejarahan dan fenomenologi (verstehen). Verstehen artinya agar
sang objek itu sendiri yang bicara megenai dirinya sendiri. Tugas peneliti
semata-mata hanya merekam apa yang dirasa, dipikirkan, dipahami dan diungkapkan
oleh sang objek, kemudian hasil rekaman itu kemudian dimengerti dan dianalisis
oleh peneliti untuk menyusun teori. Jadi pendekatan fenomenologi atau verstehen
si peneliti harus mencoba ikut terlibat dengan rasa semampu mungkin tanpa
menggunakan teori terlebih dahulu. Hal ini memang agak sulit diterapkan dalam
bidang tasawuf, sebab peneliti memang bukan orang sufi, tentu tidak bisa
merasakan dan meyakini bahwa penghayatan kejiwaan para sufi di dalam fana’
sebagai kebenaran mutlak.
Adapun dari segi pendekatan untuk memahami fenomena keagamaan atau tasawuf.
Fenomena keagamaan hanya bisa dimengerti secara utuh dan pas apabila diselamai
dari sudut agamis dan bukan dari sudut ilmu sosial. Agama mempunyai kepentingan
yang berbeda dengan kepentingan ilmu sosial. Penelitian agama adalah alat untuk
mendukung pengembangan ajaran agama dan pengembangan pemikiran umatnya sesuai
dengan tuntutan kemajuan peradaban umat manusia. Pendekatan dari sudut agama
disamping menjawab masalah ilmiah, yakni apa atau bagaimana dan mengapa terjadi
demikian, harus dilanjutkan pada persoalan ketiga yaitu masalah seberapa jauh
hal itu bisa menunjang atau menghambat ketegaran perkembangan budaya agama dan
alam pikiran umat islam. Menurut Mattulada metode yang digunakan amat
tergantung pada objek studi. Tiap-tiap objek studi menentukan metode apa yang
tepat untuk memahami objek studi itu.
6. Persyaratan Peneliti Tasawuf
Penelitian tasawuf umumya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan
pendekatan fenomenologis atau verstehen. Maka syarat mutlak bagi para peneliti
harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup.
Syarat yang harus dimiliki peneliti tasawuf adalah :
1. Menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme.
2. Mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu dan
bagaimana kaitannya dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang sejak pertengahan abad
kedua hijriyah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminologi atau bahasa
khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan penghayatan
para sufi. Misalnya “syari’at” bagi sufi pengertiannya selalu dihubungkan
dengan istilah “hakikat”. Menurut kacamata sufi syari’at hanya diberi makna
sebatas tingkah laku lahiriah menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jadi
laku batin seperti kekhusukan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan
dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukkan dalam istilah syari’at.
Oleh karena itu, Imam Al-Qusyairi mengatakan :
فكل شريعة غير مؤيدة
بالحقيقة فغير مقبول
وكل حقيقة غير
مقيدة بالشريعة فغير محصول
“Maka setiap syari’at yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima.
Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan syari’at tentu tidak ada hasilnya”.
Mengenai apa hakikat tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan
pengertian yang cerah, lantaran adanya stereotyped ideas yang telah lama
direntang oleh para pendukung tasawuf.
Menurut Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisisme dalam Islam
intisari dari mistisisme, termasuk didalamnya sufisme ialah kesadaran akan
adanya komunikasi dan dialog (langsung) antara roh manusia dengan Tuhan dengan
mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu
dapat mengambil bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan.
Sedangkan menurut A.S. Hornby dan kawan-kawan dalam kamus A Learner’s
Dictionary of Current English adalah :
The teaching of belief that knowledge of real truth and of God may be
obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind and
senses.
Ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau Tuhan bisa
didapatkan melalui meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan
akal pikiran dan panca indera. Jadi, penghayatan mistik itu semata-mata
tanggapan kejiwaan ditengah meditasi yang dalam tasawuf dilakukan dengan sarana
dzikir.
Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari
ajarannya adalah fana’ dan kasyf. Keduanya adalah inti ajaran
yang menjiwai seluruh pikiran dan perbuatan ketasawufan, tanpa keduanya tidak
akan ada tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf adalah cinta rindu
(hubbullah), rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatap muka secara
intim (al-uns) dengan Tuhan. Makrifatullah yang berarti tatap
muka langsung dengan wajah Tuhan ini hanya bisa dicapai mealui pengalaman fana’
dan kasyf. Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai
pengalaman fana dan kasyf ini, yang tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan
seperti halnya mimpi.
7.
Tokoh-tokoh
tasawuf dan ajarannya
Ada beberapa tokoh dalam ilmu tasawuf dengan ajarannya
masing-masing antara lain:
7.1.Tokoh-tokoh tasawuf klasik :
1.
Abu
Bakar Ash-Shiddiq (w.13 H)
Abu bakar pada mulanya adalah saudagar Quraisy yang kaya.setelah
masuk islam,ia menjadi seorang yang sangat sederhana. Abu Bakar memilih takwa
sebagai “pakaiannya”.ia menghiasi dirinya dengn sifat-sifat rendah
hati,santun,sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah
dan zikir.
2.
Umar
bin khathab (w.23 H)
Umar bin Khatab merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW terdekat dan
khalifah kedua Al-Khulafa Ar-Rasyidun.Ia
termasuk orang yang tinggi kasih sayangnya terhadap sesame manusia.Ia
berpakaian sangat sederhana ,bahkan tidak pantas untuk dipakai oleh seorang
pemebsar seperti dia.Umar meneladani sikap rasulullah SAW dalam seluruh
kehidupannya.Prinsip hidup sederhana ini juga diterapkan Umar di lingkungan
keluarganya.Istri dan ank-anaknya dilarang menerima pemberian dalam bentuk
apapun dari pembesar ataupun rakyatnya.
3.
Utsman
bin Affan (w.35 H)
Utsman merupakan khalifah ketiga dan sahabat yang sangat berjasa
pada periode awal pengembangan islam,baik pada saat Islam dikembangkan secara
sembunyi-sembunyi ataupun secara terbuka.Ia dijuluki Dzu An-Nurain (memiliki
dua cahaya)karena menikah dengan dua orang putri nabi Muhammad yaitu Raqayyah
dan Ummu Kalsum.
Sebelum masuk Islam,Utsman bin Affan dikenal sebgai pedgang besar
dan terpandang.Kekayaannya berlimpah ruah.Setelah masuk islam dengan penuh
kerelaannya,ia menyerahkan sebagian besar hartanya untuk perjuangan islam dan
membela orang-orang miskin dan teraniaya.Adapun dalam kehidupan kesehariannya,ia sellau hidup
sederhana.dengan hal ini,jelaslah bahwa pada diri Ustman terdapat jiwa-jiwa sufi yang tidak tertarik
pada kegermelapan kekayaan dan kesenangan duniawi.
4.
Hasan
al-Bashri
Prinsip ajaran Hasan al-Bashri (21-110 H) yang bertautan dengan
hidup keruhanian senntiasa diukur dengan sunah Nabi,bahkan dialah yang
mula-mula memperbincangkan berbagai masalah yang berkaitan dengan hidup
keruhanian,juga tentang Ilmu Akhlak yang erat hubungannya dengan menyucikan
jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela.Diantara gubahannya yang
senantiasa menjadi buah bibir kaum sufi adalah:
Anak
Adam,dirimu,dirimu.Dirimu hanya Satu
Kalau
ia selamat,selamtlah engkau
Kalau
ia binasa,binasalah engkau
Dan
orang yang selama tidak dapat menolongmu
Dan
tiap-tiap nikmat yang bukan surga adalah hina
Dan
tiap-tiap malapetaka yang bukan neraka adalah mudah.
5.
Abu
yazid al-Busthami
Dalam sejarah tasawuf,abu Yazid al-Busthami (w. 261 H/876 M)
disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan
baqa.Nama kecilnya adalah Thaifur.Namanya sangan istimewa dalam hati kaum sufi
seluruhnya.
Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu bukanlah kata-katanya
sendiri tetapi diucapkan melalui Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan
Tuhan.Dengan demikian,sebenarnya Abu yazid tidak mengakui dirinya Tuhan.Ajaran
tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana dan baqa yang dalam tahap selanjutnya
melahirkan ittihad.Hanya saja dalam literature klasik,pembahasan tentang ittihat
ini tidak ditemukan.Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajran
ini sangat sulit dipraktikkan.Abu yazid adalah seorang Zahid yang
terkenal.Zahid adalah seseorang yang
telah menyediakan dirinya untuk hidup zuhud demi kedekatannya dengan
Allah.Disini,zuhud dikerjakan melalui tiga fase,yaitu zuhud terhadap
dunia,zuhud terhadap akhirat,dan zuhud terhadap akhirat,dalam fase terakhir ini
seseorang tidak mengingat apa-apa selain allah (fana al-nafs)
Dengan fana-nya,Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke
hadhirat Tuhan.Dia berada dekat dengan Tuhan hingga mencapai ittihad.Al-fana
secara bahasa berarti hilangnya wujud sesuatu.Al-fana berbeda dengan al-fasad
(rusak),fana artinya tidak tampaknya sesuatu,sedangkan rusakadalah berubahnya
sesuatu kepada sesuatu yang lain.Dalam hubungan ini,ketika membedakan antara
benda-benda yang bersifat samawiyah dengan benda –benda yang bersifat alam,Ibn
Sina mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaannya,bukan
atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya,hilangnya
benda alam itu dengan cara fana,bukan dengan cara rusak.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana,
adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah,akhlak yang tercela,kebodohan,dan
perbuatan maksiat dari diri manusia.sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat
ketuhanan,akhlak yang terpuji,ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa
dan maksiat.untuk mencapai baqa perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat,
berdzikir,beribadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
7.2.Tokoh-tokoh tasawuf pertengahan :
1.
AL-Junaid
Al- Junaid adalah tokoh sufi
yang luar biasa. Dia teguh dalam menjalankan agamadan sangat mendalam jiwa
kesufianya. Dia juga ahli fiqih dan memberi fatwa menurut madzhab abu tsauri
dan bersahabat dengan imam syafi’i menurutnya “ tasawuf ialah zikir bersama-sama,
mendengar dan beramal. Apa yang keluar keluar dari seorang sufitidak lain
merupakan hal yang berguna”, Diantara banyak tokoh sufi pada abad ketiga, al-Junaid-lah yang paling mendalam
pemahamannya. Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qasim al Junaid. al Junaid
digelari Syeikh al-Thaifah (guru kelompok sufi). Keluarga al Junaid berasal dari Nehwand beliau lahir dan dewasa
di Irak beliau berguru pada pamannya, al-Sirri al-Saqathi serta pada al-Harits
ibn ‘Asad al-Muhasabi (meninggal tahun 297 H).Al Junaid
adalah tokoh penting dalam ilmu tasawuf, beliau memadukan syariat dan hakikat ,
metode-metodenya diikuti oleh al-Ghazali dan al-Syadzili.
2.
Mansur
Al-Hallaj
Husain ibn Mansur Al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj
adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal.
Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang
membuatnya dieksekusi secara brutal.
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi
sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai
pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak
legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya
heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada
percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu
adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah
Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya
di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."
3.
Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di
Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang
filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia
Barat abad Pertengahan. Ia berkuniah Abu
Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi
berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat
kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan
gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari
keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin
anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama,
ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan
bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib
Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam
Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan
dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
Karya
v Teologi
1.
Al-Munqidh min
adh-Dhalal
2.
Al-Iqtishad fi
al-I`tiqad
3.
Al-Risalah al-Qudsiyyah
4.
Kitab al-Arba'in fi
Ushul ad-Din
5.
Mizan al-Amal
6.
Ad-Durrah al-Fakhirah
fi Kasyf Ulum al-Akhirah
v Tasawuf
1.
Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama) merupakan karyanya yang terkenal
2.
Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
3.
Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
v Filsafat
1.
Maqasid al-Falasifah
2.
Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang
kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).
v Fiqih
1.
Al-Mushtasfa min `Ilm
al-Ushul
Namanya adalah Said bin Jubair, ia seorang pemuda yang bertubuh kekar,
berperawakan sempurna, cekatan, gesit dan rajin. Disamping itu ia adalah
seorang yang pandai, cerdas, getol terhadap hal-hal mulia dan jauh dari yang
haram. Pemuda yang berasal dari Habsyah namun loyal kepada bangsa Arab ini,
mengetahui bahwa ilmu adalah jalannya yang lurus yang akan menghantarnya kepada
Allah. Dan bahwa ketakwaan merupakan jalannya yang terbentang untuk mencapai
surga. Maka, ia menjadikan takwa di sebelah kanannya dan ilmu di sebelah
kirinya dan mengikat kedua tangannya dengannya. Dengan takwa dan ilmu ia
bertolak menghabiskan perjalanan hidup tanpa putus asa dan rasa jemu.
Said ibn Jubair mengikuti Abdullah Ibnu Abbas sebagaimana bayangan sesuatu
yang selalu menempel. Ia belajar al-Qur’an dan tafsir serta hadits dan
detailnya dari beliau. Ia juga memperdalam agama dan belajar tafsir kepadanya,
ia mempelajari bahasa sehingga sangat menguasainya. Hingga begitu ia pergi
tidak ada seorang pun di muka bumi dari penduduk zamannya kecuali pasti akan
membutuhkan ilmunya.
5. Junaidi Al Baghdadi
Junaid
Al-Baghdadi adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling menonjol
namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Tahun kelahiran Imam Junaid tidak dapat
dipastikan. Tidak banyak dapat ditemui tahun kelahiran beliau pada biografi
lainnya. Beliau adalah orang yang terawal menyusun dan memperbahaskan tentang
ilmu tasauf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu
tasauf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi.Imam Junaid adalah
seorang ahli perniagaan yang berjaya. Beliau memiliki sebuah gedung perniagaan
di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau
tidaklah disibukkan dengan menguruskan perniagaannya sebagaimana setengah
peniaga lain yang kaya raya di Baghdad.
6. AL- Harawi
Nama lengkap Al-harawi adalah abu isma’il bin muhammad Al- anshari, lahir
tahun 396 H di herat, kawasan khurasan. Ia adalah seorang faqih aliran
hambaliyyah yang terkenal karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang bernilai.
Karyanya yang paling terkenal adalah manazil as-sa’irin ila robb al-alamin
yang mendapat komentar ataupun syarah dari beberapa ahli. Komentar yang
terpenting adalah dari ibnu Qoyyim (w. 751 H) yang dikenal dengan madarij
as-salikin.
Al- Harawi adalah penyusun teori kefanaan dalam kesatuan, yang mirif teori
al-junaid. Teorinya lalu diberi komentar dan di pertahankan oleh ibnu Qoyyim
dalam karyanya, madarij as-salikin , yang menekankan terdapatnya
perbedaan kefanaan dalam kesatuan dengan penyatuan atau panteisme.
Dalam kedudukanya sebagai seorang penganut aliran sunni, al-harawi
melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan
– ungkapanya. Ia pun mengemukakan bahwa tingkatan ketentraman yang timbul dari
ridho allah SWT. Sebagai pencegah keganjilan ungkapan-ungkapan.
7.3.Tokoh-tokoh tasawuf era modern :
1.
Hamzah
Fansuri
Hamzah fansuri adalah seorang ahli tasawuf asli Melayu yang senang
mengembara menjelajahi Timur Tengah, Syam, malaya, dan beberapa pulau di
Nusantara. Dia menulis karya dalam eberapa bahasa, eperti arab, persia, dan
melayu. Karyanya antara lain syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang,
Syair Jawi, Asrar al-‘Arifi, dan Syarabul ‘Asikin. Pemikiran dan ide-idenya
merupakan perpaduan antara tasawf, filsafat, dan Ilmu Kalam. Ia berasal dari
daerah Barus dan kemunculannya dienal pada masa kekuasaan Sultan alauddin
Ri’ayat Syah di aceh pada abad ke-16 m.
Sebagian ajarnnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a)
Wujud
Wujud
hanyalah satu, meskipun kelihatannya banyak. Wujud yang satu itu berkulit dan
berisi, ada kenyataan lahir dan batin. Wujud ini mempunyai tujuh martabat:
1.
Ahadiyah,
hakikat sejati dari Allah
2.
Wahda,
hakikat dari Muhammad
3.
Wahdiyah,
hakikat dari Adam
4.
Alam
Arwah, hakikat dari nyawa
5.
Alam
Mitsak, hkikat dari segala bentuk
6.
Alam
Ajsam, hakikat dari tubuh
7.
Alam
Insn, hakikat dari manusia
Semuanya berkumpul pada yang satu. Itulah ahadiyah,itulah allah dan
itulah Aku.
b)
Allah
Allah
adalah dzat yang Mutlak dan Qadim, First causal (sebab pertama) dan pencipta
alam semesta. DzatAllh bisa ditamsilkan seperti laut yang dalam, laut batiniah.
Tuhan itu adapada diri manusia, tetapi tidak identik dengan alam. Allah
bersifat Qadim, Hidup, Berilmu, Berkehendak, Berkuasa, Berkata, Mendengar, dan
Melihat.
c)
Penciptaan
Sebenarnya
hakikat dari dzat Allah itu adalah Mutlak dan la ta’ayun (tidak dapat
ditentukan/dilukiskan). Dzat yang mutlak itu mencipta dengan cara menyatakan
diri-Nya dalam uatu proses penjelmaan , yaitu pengaliran kembali kepadaNya
(taraqi).
d)
Manusia
Meskipun
manusia merupakan tingkat terkhir dari penjelmaan, akan tetapi manusia adalah
tingkat yang paling penting dan merupakan penjelmaan yng paling penuh
(sempurna). Ia adalah aliran/ pancaran langsung dari Dzat Allah yang mutlak.
Hal ini menunjukkan adanya kesatuan antara Allah dan manusia.
e)
Perlepasan
Yang
dicita-citakan oleh hamzah Fansuri dalam pelepasan ini ialah penjauhn diri dar
dunia ini secara total. Untuk itu, seseorang harus menempuh empat tingkatan
jalan, yaitu syariat, Tarikat, hakikat, dan Ma;rifat.
Menurut
Hamzah Fansuri, manusia bisa menyelusuri empat
alam, yaitu:
1.
Alam
Nasut adalah suatu tingkatan bahwa setiap manusia berada menurut kodratnya.
Pada tingkat iniseseorang dianggap baru mulai.
2.
Alam
Malakut adalah suatu tingkatan di mana seseorang harus melalui jalan ruhani.
3.
Alam
Jabarut adalah suatu tingakatan di mana terjadi ?”pertemua” antara hamba dengan
Tuhan. Di sini, manusia harus mengenal Allah dengan pengetahuan sempurna, tidak
melekat dan atau tergantug pada keluarga, harta, dan kedudukan yang menjadi
miliknya serta tidak henti-henti menyebut Allah serta mencintaiNya.
4.
Alam
fana adalah alam ma’rifat, yaitu tingkatan yang oaling tinggi dan sempurna sekaligus
merupakan rahasia Nabi.
2.
Abdur
Rauf Singkel
Nama lengkapnya ialah Syekh abdur Rauf bin ali al-fansuri al-Jawi,
lahir di Fansur pada tahun 1620 M dn meninggal di Kuala tahun 1693 M. Beliau
banyak belajar di negeri-negeri Arb seperti di Mekah, meinah, Jeddah dan
lain-lain. Ia pernah belajar kepada Syekh Ahmad Qushashi dan kepada Syekh Maulana
Ibrahim (Khalifah Tharikat Syattariyah) yang pada waktu itu berpusat di Mekah,
hingga memperoleh ijazah thariqat Syattariyah ini.
Abdur Rauf sebenarnya oleh dikatakan tidak mempunyai paham atau
ajaran yang tersendiri. Dalam masalah keagamaan, beliau mengikui paham
ahlussunnah waljama’ah dan khusus dalam bidang fiqih beliau adalah pengikut
syafi’iyyah, sedangkan dalam tasawuf mengikuti thariqat syattariyah dan
paham-paham ini pulalah yang ia sebarkan di dalam semua kegiatan dakwahnya.
Karenanya kitab-kitab yang ditulisnya –pun adalah sesuai dengan paham-paham
tersebut tadi. Kitab yang ditulisnya menerangkan tentang hukum-hukum menurut
Syafi’i, sebagai pegangan untuk soal-soal masyarakat, politik, dan agama.
Praktek tasawufyaitu zikir dan sedikit otobiografinya. Dan mengenai uraian
tentang perilaku dan akhlak.
Beberapa paham Abdur Rauf:
1.
Kejadian
manusia
Abdur
Rauf berpendapat, bahwa sebelum makhluk ini diciptakan, semuanya berada dalam
ilmu Allah yang disebut a’yah tsabitah. Allah berfikir dan memikirkan dirinya
sendiri menurut ilmuNya yang tak dapat kita ketahui. Akibat pemikirannya itu
keluarlah materi yang disebut ‘ayan kharijah.
2.
Mengenai
hati
Di
dalam pembahasannya, ia membagi hati itu kedalam tujuh golongan atau martabar,
yaitu:
a)
Hati
yang mati, ialah hatinya orang kafir, hatinya ini adalah seperti syaitan,
b)
Hati
yang munafiq, seperti hatinya hewn
c)
Hati
yang fasiq, ialah hati yang tidak tertarik kepada kebenaran
d)
Hati
yang tawjjuh, yang selalu menghadap kepada Allah
e)
Hati
yang mujarrad, ialah hatiyang telah terbuka untuk bertemu dengan Allah
f)
Hati
rabbani, yaitu hati yang sudah panta dapat bertemu dengan Allah dan inilah yang paling tinggi dan paling
sempurna
3.
Dzikir
Menurut
Abdu rauf, dzikir ialah membersihkan diri dari goflat dan nisyan (lupa) dengan
menghadirkan yang Hak di dalam hati secara terus-menerus. Dzikir ini dilakukan
secara terus-menerus, agar dengan demikian bis memperoleh pengaruh/ manfaat dan
dzikir yang paling populer dalam thariqat ialah ucapan atau kalimat
“Lailahaillallah”
Abdur
Rauf membuat tingkatan-tingkatan orang pengikut dzikir itu sebagai berikut:
a)
Tingkat
mubtadi: yaitu yang masih nyata sifat basyariatnya dan was-wasnya dalam waktu
dzikir. Dan kalimat dzikir yang dibacanya ialah”la ma’bud illallah.”
b)
Tingkat
mutawwasit: yaitu yang telh bersih sifat basyariatnya dan was-was padanya,
hanya ia mengarah kepada Tuhsn dengan dzauq dan kalimat dzikir yang dibacanya
ialah “la mathlub illallah.”
c)
Tingkat
muntahi: yaitu dimana segala kekhawatiran dan was-was apa saja dalam hatinya
telah hapus dan lenyap sama sekali dalam dzikir, ingatannya hanya Allah
semata-mata.
3. Metode Manajemen Qolbu
Manajemen qolbu atau manajemen menata hati bertujuan membentuk
manusia berhati ikhlas, berpandangan positif, dan selalu menata hati
berdasarkan keimanan kepada Allah SWT. K.H.Adbdullah Gymnastiar (Aa gym) adalah
pelopor dari Manajemen Qolbu ini. Dia dilahirkan di Bandung pada tanggal 29
Januari 1962. Mendirikan Pesantren “Virtual” Daarut Tauhid, di kawasan
gegerkalong Girang, Bandung utara.Apa yang diajarkan Aa Gym sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan apa yang telah diajarkan oleh para ulama terdahulu, tetapi
dia mampu mengemasnya secara apik dalam konteks kemodernan. Aa Gym mampu
menyampaikan pesan-pesan Manajemen Qolbunya secara ringan, sederhana, dan mudah
ditangkap berbagai kalangan masyarakat.
Menurut Aa Gym ilmu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak
makiatnya. Semakin bersih hati seseorang maka dia akan dikaruniai kepekaan oleh
Allah untuk mendaatlkan ilmu yang bermanfaat ari mana pun. Selain itu, dia juga
diberi kesanggupan untuk menolak sehla sesuatu yang akan membawanya kepada
kemadharatan. Untuk memperoleh hatiyang
selalu bersih dan bercahaya kita harus selalu menata hati, memperindah hati,
dan menghidupkan hati nurani dengan cara menjaga pandangan, menjaga lisan,
memelihara perut, dan memilih pergaulan. Kita harus mempunyai hati yang mampu
menyelamatkan kita.
Metode manajemen qolbu yang diterapkan aa gy tidak hanya diterima
oleh umat Islam, tetapi juga masyarakat yang beragaa selain Islam. Inilah salah
satu alasan memasukkan Manajemen Qolbu sebagai metode modern.
4.
Metode
Zikir
Metode Zikir dikembangkan oleh K.H. Arifin Ilham, seorang kiai muda
yang mempunyai suara serak yang khas, melalui majelis zikirnya di Jakarta. Sama
seperti Abdullah Gymnastiar, apa yang dilakukan oleh Arifin Ilham sebenarnya
juga tlah dikembangkan oleh para ulama terdahulu, terutama oleh para ahli
tasawuf dan para sufi. Arifin Ilham berhasil membangkitkan kembali etos zikir
yang mulai ditinggalkan umat. Meski ada ulama yang kurang setuju dengan metode
zikir berjamaah ini, tetapi metode zikir yang dikembangkan arifin Ilham
diminati oleh masyarakat luas, khusunya yang mengalami kekeringan hati dan
kegundahan jiwa.
8.
Penutup
Penelitian (Research)
adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan
menemukan prinsip-prinsip umum.Penelitian itu sendiri dipandang sebagai
kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Metode ilmiah adalah usaha
untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian
sistematis. Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek
penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Tujuan penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman dan
membudayakan pengamalan agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat
manusia.Harun nasution menyatakan bahwa karena agama merupakan wahyu maka tidak
dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan,
harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial.Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam penelitian
agama yakni analisis sejarah, analisis lintas budaya, eksperimen, observasi
partisipatif, riset survei dan analisis statistik, dan analisis isi.
M. Atho Mudzhar
mengatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian keagamaan
perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian
yang diperlukan. Untuk penelitian agama yang sasarannya
adalah agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi
penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang merintisnya.
Sedangkan untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala
sosial. M. Atho Mudzakar berpendapat bahwa tidak perlu membuat metodologi
penelitian tersendiri untuk meneliti agama karena dapat metodologi penelitian
sosial yang telah ada.
Penelitian dan pengajian dalam bidang ilmu tasawuf merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari penelitian dan pengembangan dalam Ilmu Pengetahuan
Agama Islam. Penelitian atau studi
dalam bidang ilmu tasawuf objekya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-ulama sufi
masa lampau yang telah terbukukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih
dalam bentuk tulisan tangan. Definisi tasawuf
adalah salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan
aspek rohani manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Bidang
ini mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia yang bersifat
lahiriyah muapun bathiniyah (esoterik).
Terdapat
beberapa model dalam penelitian tasawuf yaitu :Model Sayyed Husein Nasr yang menggunakan
metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba
menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Dengan penelitian
kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah
berkembang dalam sejarah, Model Mustafa Zahri :penelitiannya bersifat
ekploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf,
Model Kautsar Azhari Noor yang memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf
dalam rangka disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam
perdebatan dengan studi dengan tokoh dan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan
pahamnya wahdat al- wujud.
Model
Harun Nasution yang menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf
disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan stasion-stasion
lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan
wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena langsung menuju
persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh.
Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni
menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa.
Model
A. J. Arberry yang menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik
dengan pendekatan tokoh. Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry
menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami
berdasarkan konteks sejaranya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai
atau mentranformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang
lebih luas. Selain itu dapat menggunakan metode fenomenologi (verstehen). Verstehen artinya agar sang objek
itu sendiri yang bicara megenai dirinya sendiri. Agar penelitian tasawuf
hasilnya lebih baik maka peneliti hendaklah memahami istilah-istilah dalam
tasawuf dan mengerti hakikat tasawuf.
Selain penjelasan
mengenai metode penelitian, dalam makalah ini juga diulas beberapa tokoh-tokoh
tasawuf beserta ajarannya. Tokoh-tokoh tasawuf ini terbagi menjadi tiga
kategori yakni tokoh-tokoh klasik seperti Abu Bakar, Umar, Usman; tokoh-tokoh
abad pertengahan seperti Al Junaid dan tokoh modern seperti AA Gym.
Daftar Pustaka
Ali ,
Mukti, metode
memahami agama islam, Jakarta: Bulan bintang, 1991, hal. 37-38
Buchori
, Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam, Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005, cet.I, hal. 118
Buchori
, Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam, hal. 119
Hakim, Atang
Abd, Drs., MA, Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2008, cet. Kesepuluh, hal. 55
Nata,
Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pres
[1]Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2008, cet. Kesepuluh, hal. 55
[2]Ibid, hal. 56
[3]Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam,
Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005, cet.I, hal. 118
[4]A. Mukti Ali, metode memahami agama islam,
Jakarta: Bulan bintang, 1991, hal. 37-38
[5]Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, hal.
119
[6]Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali
Pres
No comments:
Post a Comment