Ajaran Syekh Siti
Jenar
Ingsun, Allah dan
Manunggaling kawulo Gusti
1.“Sabda sukma,
adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.”
Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”
Ini adalah salah
satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh
di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu
diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut
mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan
hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan
kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka
tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-adu
(adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
2. “Hidup itu
bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan
barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan
membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat
dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan
kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan
hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak
jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan
orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan,
untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan
citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan
perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti
Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan
dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg
bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang
Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego.
Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.
3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.
3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari pernyataan itu
nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos
(manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama
akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
4. “Segala sesuatu
yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah.
Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah
juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah
dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan
dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi
perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA,
yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil “Wa Allahu
khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg maknanya Allah yg
menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna
mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya
melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan
kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz
ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah engkau yg
melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada
hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah
sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi
al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni
Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin
Allah.”
Eksistensi manusia
yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain
adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab
af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya
ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan.
5. “Di dunia ini
kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur
tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn
seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada
dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi
hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati.
Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya
hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau
belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau
masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan
aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau
tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali
tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang
yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam
kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
SURGA dan NERAKA
menurut Syekh Siti Jenar
“anal jannatu wa
nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam
menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna
al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan
neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia.
Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses Manunggaling kawulo Gusti.
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia.
Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses Manunggaling kawulo Gusti.
PUASA dan HAJI
“Syahadat, shalat
dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat
dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya
kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti
aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya
keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar
menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong
belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini
sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas
syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”,
yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda
pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
Manunggaling kawulo
Gusti
“Itulah yang
dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas
kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat
yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam
pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui
ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan
menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat
Muhammad yg kudus.”
“Gusti Zat Maulana.
Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua
puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala
ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa
cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti
menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas
adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah
merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu
hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid
dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya
sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah,
sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
“Hyang Widi, wujud
yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai
wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan
keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus,
menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat
dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Ihsan berasal dari
kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh
eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang
ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah
atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki
kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya
pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat
yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas
eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia
akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
Pribadi adalah
pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud
dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi
tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu
sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg
nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh
rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah
efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
No comments:
Post a Comment