A.
ILMU
MUNASABAH
1.
Pengertian
Munasabah.
Secara bahasa,
munasabah berarti persesuaian atau hubungan relevansi, yaitu hubungan
persesuaian antara ayat/surat yang satu dengan ayat/surat yang sebelum atau
sesudahnya.
2. Macam-macam
Munasabah
Munasabah atau penyambungan
kaitan bagian Al-Quran yang satu dengan yang lain itu bisa bermacam-macam, jika
dilihat dari berbagai seginya.
a.
Ditinjau dari sifatnya
1)
Persesuaian
yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau
persesuaian yang tampak jelas,
yaitu yang persambungan atau persesuaian antara bagian Alquran yang satu dengan
yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yag
lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna,
jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang
menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu itu berupa penguat,
penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian atau pembatasan dari ayat yang
lain, sehingga satu kesatuan yang sama. Contohnya,seperti persambungan antara
ayat 1 surah Al-Isra :
” Maha suci Allah, yang memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa.”
Ayat tersebut menerangkan isra’ Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya,
ayat 2 surat Al-Isra tersebut yang berbunyi :
” Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami
jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel.”
Ayat
tesebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s.
Persesuaian antara kedua ayat tersebut adalah tampak jelas mengenai diutusnya
kedua orang/Rosul tersebut.
2)
Persambungan
yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh)
atau samarnya persesuaian
antara bagian Al-Quran dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian
untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surat itu berdiri
sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain,
atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surat
Al-Baqarah dengan surat 190 surat Al-Baqarah. Ayat 189 surat Al-Baqarah
tersebut berbunyi:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan syabit.
Katakanlah, bulan syabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadah haji).”
Ayat
tersebut menerangkan bulan sabit/tanggal-tanggal untuk waktu jadwal ibadah
haji.
Sedang
ayat 190 surat Al-Baqarah berbunyi:
” Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.”
Ayat
tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat islam. Sepintas, antara
kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya. Padahal sebenarnya ada
hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 menerangkan soal waktu untuk
haji, sedang ayat 190 menerangkan bahwa sebenarnya ketika haji itu umat Islam
dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka
serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
b. Ditinjau dari materinya:
Ditinjau dari segi
materinya, munasabah itu ada 2 macam sebagai berikut :
1) Munasabah antar ayat
yaitu munasabah / persambungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Munasabah itu bisa
berbentuk persambungan-persambungan
sebagai berikut :
a) Diathofkan
ayat yang satu kepada ayat yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surat
Ali Imran :
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai”.
Dengan
surat Ali Imran ayat 102 :
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.
Faedah
dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan 2 ayat tersebut sebagai
dua hal yang sama (an-Nadzraini). Ayat 102 surat Ali Imran menyuruh bertaqwa
dan ayat 103 surat Ali Imran menyuruh berpegang teguh pada agama Allah, dua hal
yang sama.
b)
Tidak diathofkan ayat yang satu kepada
yang lain, seperti munasabah antara ayat 11 surat Ali Imran.
“(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum
Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami”.
Dengan
ayat 10 surat Ali Imran
“Sesungguhnya orang-orang yang
kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa)
Allah dari mereka. dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka”
Dalam
munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang kedua (ayat 11)
dengan ayat yang sebelumnya (ayat 10), sehingga ayat 11 surat Ali Imran itu
dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surat Ali Imran.
c)
Digabungkannya dua hal yang sama,
seperti persambungan antara ayat 5 surat al-Anfal.
“Sebagaimana
Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal Sesungguhnya
sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”.
Dengan
ayat 4 surat al-Anfal.
“Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat)
yang mulia”.
Kedua
ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran, ayat 5 surat al-Anfal itu
menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin.
d) Dikumpulkannya
dua hal yang kontradiksi (al-mutashadattu)
Seperti
yang dikumpulkan ayat 95 surat al-A’raf
“Kemudian
kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka
bertambah banyak, dan mereka berkata: "Sesungguhnya nenek moyang kamipun
Telah merasai penderitaan dan kesenangan"
Dengan
ayat 94 surat al-A’raf
“Kami tidaklah mengutus seseorang
nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu),
melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya
mereka tunduk dengan merendahkan diri”.
Ayat
94 surat al-A’raf tersebut menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan
kepada penduduk, tetapi ayat 95 surat al-A’raf menjelaskan kesusahan dan
kesempitan itu diganti dengan kesenangan.
e) Dipindahkannya
satu pembicaraan, ayat 55 surat Shaad :
“Beginilah (keadaan mereka). dan
Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat
kembali yang buruk”
Dialihkan
pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali
ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 surat Shaad yang
membicarakan rezeki dari ahli surga.
“Sesungguhnya Ini adalah benar-benar rezki
dari kami yang tiada habis-habisnya”.
2)
Munasabah
antar surat yaitu munasabah / persambungan antara surat yang satu dengan surat
yang lainnya.
Munasabah
ini ada beberapa bentuk sebagai berikut :
a) Munasabah
antara dua surat dalam soal materinya, yaitu materi surat yang satu sama dengan
materi surat yang lain.
Contohnya
: seperti surat kedua al-Baqarah sama dengan isi surat yang pertama al-Fatihah,
keduanya sama-sama menerangkan 3 hal kandungan al-Qur’an, yaitu masalah aqidah,
ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman. Dalam surat al-Fatihah semua
itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surat al-Baqarah dijelaskan dan
dirinci secara panjang dan bebas.
b) Persesuaian
antara permulaan surat dengan penutupan surat sebelumnya. Sebab semua pembukaan
surat itu erat sekali kaitannya dengan akhiran dari surat sebelumnya, sekalipun
sudah dipisah dengan basmalah.
Contohnya:
seperti awalan dari surat al-An’am yang berbunyi sebagai berikut:
“Segala puji bagi Allah yang Telah
menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang
yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”.
Awalan
surat al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surat al-Maidah yang berbunyi :
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi
dan apa yang ada di dalamnya; dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Dan seperti antara awalan surat al-Hadid yang
berbunyi sebagai berikut :
“Semua yang berada
di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran
Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Awalan surat al-Hadid tersebut sesuai dengan akhiran
surat al-Waqi’ah:
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama
Rabbmu yang Maha besar”.
Dan seperti awalan surat al-Quraisy
“Karena
kebiasaan orang-orang Quraisy”,
Dengan awalan surat al-Quraisy tersebut sesuai
dengan surat al-Fiil:
“Lalu dia menjadikan mereka seperti
daun-daun yang dimakan (ulat)”.
c) Persesuaian
antara pembukaan dan akhiran sesuatu surat sebab, semua ayat dari sesuatu surat
dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan dan bersesuaian.
Contoh : seperti persesuaian antara awal surat
al-Baqarah
“Alif laam miin. Kitab (Al Qur’an)
Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
Awal
surat al-Baqarah tersebut sesuai dengan akhirnya yang memerintahkan supaya
berdo’a agar tidak disiksa Allah, bila lupa atau bersalah.
“Beri ma'aflah Kami; ampunilah
Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir."
Dan seperti persesuaian antara awal surat
al-Mukminun
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman”
Dengan akhiran surat tersebut yang berbunyi :
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”[1].
3.
Faedah
Ilmu Munasabah
Faedah mempelajari ilmu munasabah ini banyak, antara
lain sebagai berikut :
a.
Mengetahui persambungan hubungan antara
bagian al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun
surat-suratnya yang satu dengan yang lainnya. Sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan
terhadap kewahyuan dan kemukjizatan.
b.
Dengan
ilmu munasabah itu dapat diketahui mutu dan tingkat kebahagiaan bahasa
Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain. Serta
persesuaian ayat atau suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih
meyakinkan kemukjizatannya, bahwa Al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah
SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad Saw
c. Dengan
ilmu munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah diketahui hubungan
sesuatu kalimat / sesuatu ayat dengan kalimat / ayat yang lain, sehingga sangat
mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya.
B.
ILMU
QIRA’AT
1.
Pengertian Qira’at
Secara
etimologi(bahasa), kata “qira’at” berarti “bacaan”, mashdar dari qara’a. Sedangkan secara terminologi (istilah), ada
beberapa definisi menurut para ulama:
a. Az-Zarqani:
Suatu madzhab yang dianut oleh
seorang imam dalam membaca Al-Qur’an yang berbeda satu dengan yang lainnya
dalam pengucapan Al-Qur’an serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik
perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun pengucapan lafadznya.
b. Al-Qaththan:
Qira’ah adalah salah satu madzhab
pengucapan Al-Qur’an yang dipilih oleh seorang imam qurra’ sebagai suatu
madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya[2].
c. Az-Zarkasyi:
Qira’at adalah perbedaan (cara
mengucapkan) lafadz-lafadz Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara
pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhlif (meringankan), tatsqil
(memberatkan) dan atau yang lainnya.
d. Ibnu
Al-Jazari:
Ilmu yang menyangkut cara-cara
mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara
menisbatkan kepada penukilnya.
e. Muhammad
Ali Ash-Shabuni:
Qira’at adalah suatu madzhab cara
pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang
bersambung kepada Rasulullah SAW.
f. Al-Qasthalani:
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal
yang disepakati atau diperselisihkan ulam yang menyangkut persoalan lughot,
hadzaf, I’rib, itsbat, fashl dan washl yang kesemuanya diperoleh secara
periwayatan[3].
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya
berada pada satu kerangka yang sama bahwa walaupun ada beberapa cara melafalkan
Al-Qur’an tetapi sama-sama berasal dari satu sumber yaitu Nabi Muhammad. Dari
beberapa definisi di atas terdapat tiga unsur qira’at:
.
Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan
ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara
yang dilakukan imam-imam lainnya.
a.
Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an it
berdasarkan atas
riwayat yang bersambung kepada Nabi.
b.
Ruang lingkup perbedaan qira’at itu
menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl[4].
2.
Macam-Macam Qira’at
a. Dari
Segi Kuantitas:
1) Qira’at
Sab’ah (qira’at tujuh) :
a) Abdullah
bin Katsir Ad-Dari
b) Nafi’
bin Abdurrahman bin Abu Na’im
c) Abdullah
Al-Yahshibih
d) Abu
‘Amar
e) Al-Kuzai
f) Hamzah
bin Habib Al-Zayyat
g) ‘Ashim
bin Abi An-Najud Al-Asadi
2) Qira’at
‘Asyarah (qira’at sepuluh)
Terdiri dari qira’at tujuh di atas
ditambvah dengan tiga qira’at berikut:
)
Abu Ja’far
a)
Ya’qub Al-Hadhrami
b)
Khallaf bin Hisyam
3) Qira’at
Arba’ata ‘Asyrah (qira’at empat belas)
Terdiri dari qira’at sepuluh di
atas ditambah empat qira’at berikut:
)
Al-Hasan Al-Bashri
a)
Muhammad bin ‘Abdirrahman (Ibnu Mahisy)
b)
Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi
b. Dari
Segi Kualitas:
Menurut Al-Jazari, qira’at dikelompokkan menjadi lima
bagian:
1) Qira’at Mutawatir, yakni yang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi yang banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula, sehinnga
tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Menurut Jumhur Ulama’, qira’at
tujuh adalah yang mutawatir[5].
2) Qira’at Masyhur, yakni yang memiliki sanad
shahih, teteapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah
Bahasa Arab dan tulisan mushaf ‘Utsmani, masyhur (terkenal) di kalangan ahli
qira’at, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Misalnya, qira’atyang
berbeda-beda alur periwayatannya dari imam qira’at yang tujuh. Sebagian
periwayat meriwayatkan dari mereka dan sebagian yang lain tidak demikian. Di
antara kitab yang paling masyhur menyangkut kedua macam qira’at ini adalah
kitab Al-Taisir karangan Al-Dani, Al-Saithibiah karangan Al-Syaithibi dan
Thibah Al-Nasyr fi Al-Qira’at karangan Al-Jazari.
3) Qira’at
Ahad, yang memiliki sanad shahih, tetapi menyalahi tuisan mushaf utsmani dan
kaidah Bahasa Arab, tidak memiliki kemasyhuran, dan tidak sah dibaca sebagai
Al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya. Misalnya, riwayat yang dikeluarkan
Al-Hakim dari Abu Hurairah bahwa Nabi membaca Q.S. As-Sajdah(32):17,
فلا تعلم نفس ما اخفي لهم من قرات اعين
Sedangkan qira’ah versi Mushaf
‘Utsmani:
فلا تعلم نفس ما اخفي لهم من قرة اعين
4) Qira’at
Syadz (menyimpang),yakni yang sanadnya tidak shahih. Contoh qira’at ini adalah:
مالك يوم الدين
Sedangkan Mushaf ‘Utsmani:
مالك يوم الدين
5) Qira’at
Maudhu’ (palsu), seperti qira’at al-Khazzani.
Kemudian, As-Suyuti menambahkan
qira’at yang keenam, yaitu:
6) Qira’at
Mudraj, yakni qira’at yang di dalamnya terdapat kalimat tambahan dengan tujuan
penafsiran bagi ayat Al-Qur’an. Contoh, qira’at Abi Waqqash:
وله اخ او اخت
من ام
Sedangkan mushaf ‘Utsmani:
وله اخ او اخت
Tolok ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam
menetapkan qira’at shahih adalah sebagai berikut:
a. Bersesuaian
dengan kaidah Bahasa Arab, baik yang fashih atau paling fashih.
b. Sesuai
dengan salah satu kaidah penulisan mushaf ‘Utsmani walaupun hanya kemungkinan (ihtimal).
c. Memiliki
sanad yang shahih[6].
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Ilmu
Munasabah
Ilmu munasabah
adalah ilmu yang menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar suarat, baik
korelasi itu bersifat umum atau khusus, abstrak atau konkret, atau antara
sebab-akibat, atau antara illat dan ma’lulnya, ataukah antara rasionil dan
irrasionil, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi. Ilmu munasabah dibagi
menjadi dua, yang pertama dilihat dari sifatnya,yaitu persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persesuaian
yang tampak jelas dan persambungan yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh) atau samarnya persesuaian antara bagian
Al-Quran dengan yang lain. Dan yang kedua dilihat dari materinya, yaitu munasabah antar ayat dan munasabah antar surat.
2.
Ilmu
Qira’at
Ilmu qira’at adalah
ilmu yang mempelajari tentang cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan
salah seorang imam yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat,
fashl, dan washl. Ilmu qira’at dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan kualitas
dan kuantitasnya. Berdasarkan kualitasnya, Al-Jazari membagi qira’at menjadi
enam bagian, yakni mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu’, dan mudraj.
Sedangkan berdasarkan kuantitasnya, yakni qira’ah sab’ah, qira’ah ‘asyaroh, dan
qira’ah arba’ata ‘asyarah.
B.
SARAN
Di dalam
penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk
itu, kami menerima kritik dan saran dari para pembaca, agar dalam penulisan
makalah selanjutnya kami dapat memperbaiki semuanya dan tidak akan mengulangi
kesalahan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Chirzin, Muhamma,
Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,
Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
Wahid, Ramli Abdul,
Ulumul Qur’an,
Jakarta
: Rajawali Pers , 1996.
Anwar,Rosihon, Ulum Al-Qur’an,bandung : pustaka setia,2007.
http:// makalah-ibnu.blogspot.com/2009/11/ilmu-munasabah.html
http://
pe,ikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/
No comments:
Post a Comment