Tuesday, 10 July 2012

Imu Munasabah



A.    ILMU MUNASABAH
1.      Pengertian Munasabah.
Secara bahasa, munasabah berarti persesuaian atau hubungan relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat/surat yang satu dengan ayat/surat yang sebelum atau sesudahnya.
2.      Macam-macam Munasabah
Munasabah atau penyambungan kaitan bagian Al-Quran yang satu dengan yang lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya.
a.       Ditinjau dari sifatnya
1)      Persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu yang persambungan atau persesuaian antara bagian Alquran yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yag lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu itu berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian atau pembatasan dari ayat yang lain, sehingga satu kesatuan yang sama. Contohnya,seperti persambungan antara ayat 1 surah Al-Isra :
” Maha suci Allah, yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa.”
Ayat tersebut menerangkan isra’ Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya,    
                ayat 2 surat Al-Isra tersebut yang berbunyi :
” Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel.”
Ayat tesebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s. Persesuaian antara kedua ayat tersebut adalah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang/Rosul tersebut.
2)      Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh) atau samarnya persesuaian antara bagian Al-Quran dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surat itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surat Al-Baqarah dengan surat 190 surat Al-Baqarah. Ayat 189 surat Al-Baqarah tersebut berbunyi:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan syabit. Katakanlah, bulan syabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah haji).”
Ayat tersebut menerangkan bulan sabit/tanggal-tanggal untuk waktu jadwal ibadah haji.
                         Sedang ayat 190 surat Al-Baqarah berbunyi:
” Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.”
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang  yang menyerang umat islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 menerangkan soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 menerangkan bahwa sebenarnya ketika haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
b.      Ditinjau dari materinya:
Ditinjau dari segi materinya, munasabah itu ada 2 macam sebagai berikut :
1)      Munasabah antar ayat yaitu munasabah / persambungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Munasabah itu bisa berbentuk persambungan-persambungan sebagai berikut :
a)      Diathofkan ayat yang satu kepada ayat yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surat Ali Imran :
  Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan  janganlah kamu bercerai berai”.
Dengan surat Ali Imran ayat 102 :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.
Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan 2 ayat tersebut sebagai dua hal yang sama (an-Nadzraini). Ayat 102 surat Ali Imran menyuruh bertaqwa dan ayat 103 surat Ali Imran menyuruh berpegang teguh pada agama Allah, dua hal yang sama.
b)      Tidak diathofkan ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 11 surat Ali Imran.
 “(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami”.
Dengan ayat 10 surat Ali Imran
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka”
Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang kedua (ayat 11) dengan ayat yang sebelumnya (ayat 10), sehingga ayat 11 surat Ali Imran itu dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surat Ali Imran.
c)      Digabungkannya dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5 surat al-Anfal.
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”.
Dengan ayat 4 surat al-Anfal.
 Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”.
Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran, ayat 5 surat al-Anfal itu menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin.
d)     Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (al-mutashadattu)
Seperti yang dikumpulkan ayat 95 surat al-A’raf
 “Kemudian kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: "Sesungguhnya nenek moyang kamipun Telah merasai penderitaan dan kesenangan"
Dengan ayat 94 surat al-A’raf
“Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri”.
Ayat 94 surat al-A’raf tersebut menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi ayat 95 surat al-A’raf menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.
e)      Dipindahkannya satu pembicaraan, ayat 55 surat Shaad :
“Beginilah (keadaan mereka). dan Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk”
Dialihkan pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 surat Shaad yang membicarakan rezeki dari ahli surga.
 “Sesungguhnya Ini adalah benar-benar rezki dari kami yang tiada habis-habisnya”.
2)      Munasabah antar surat yaitu munasabah / persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lainnya.
Munasabah ini ada beberapa bentuk sebagai berikut :
a)      Munasabah antara dua surat dalam soal materinya, yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat yang lain.
Contohnya : seperti surat kedua al-Baqarah sama dengan isi surat yang pertama al-Fatihah, keduanya sama-sama menerangkan 3 hal kandungan al-Qur’an, yaitu masalah aqidah, ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman. Dalam surat al-Fatihah semua itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surat al-Baqarah dijelaskan dan dirinci secara panjang dan bebas.
b)      Persesuaian antara permulaan surat dengan penutupan surat sebelumnya. Sebab semua pembukaan surat itu erat sekali kaitannya dengan akhiran dari surat sebelumnya, sekalipun sudah dipisah dengan basmalah.
Contohnya: seperti awalan dari surat al-An’am yang berbunyi sebagai berikut:
“Segala puji bagi Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”.
Awalan surat al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surat al-Maidah yang berbunyi :
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Dan seperti antara awalan surat al-Hadid yang berbunyi sebagai berikut :
Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Awalan surat al-Hadid tersebut sesuai dengan akhiran surat al-Waqi’ah:
Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar”.
Dan seperti awalan surat al-Quraisy
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy”,
Dengan awalan surat al-Quraisy tersebut sesuai dengan surat al-Fiil:
“Lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”.
c)      Persesuaian antara pembukaan dan akhiran sesuatu surat sebab, semua ayat dari sesuatu surat dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan dan bersesuaian.
Contoh : seperti persesuaian antara awal surat al-Baqarah
“Alif laam miin. Kitab (Al Qur’an) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
Awal surat al-Baqarah tersebut sesuai dengan akhirnya yang memerintahkan supaya berdo’a agar tidak disiksa Allah, bila lupa atau bersalah.
“Beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Dan seperti persesuaian antara awal surat al-Mukminun
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”
Dengan akhiran surat tersebut yang berbunyi :
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”[1].


3.      Faedah Ilmu Munasabah
Faedah mempelajari ilmu munasabah ini banyak, antara lain sebagai berikut :
a.       Mengetahui persambungan hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang lainnya. Sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatan.
b.      Dengan ilmu munasabah itu dapat diketahui mutu dan tingkat kebahagiaan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain. Serta persesuaian ayat atau suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa Al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad Saw
c.       Dengan ilmu munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah diketahui hubungan sesuatu kalimat / sesuatu ayat dengan kalimat / ayat yang lain, sehingga sangat mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya.

B.     ILMU QIRA’AT
               1.            Pengertian Qira’at
Secara etimologi(bahasa), kata “qira’at” berarti “bacaan”, mashdar dari qara’a.  Sedangkan secara terminologi (istilah), ada beberapa definisi menurut para ulama:
a.       Az-Zarqani:
Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam dalam membaca Al-Qur’an yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun pengucapan lafadznya.
b.      Al-Qaththan:
Qira’ah adalah salah satu madzhab pengucapan Al-Qur’an yang dipilih oleh seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya[2].
c.       Az-Zarkasyi:
Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhlif (meringankan), tatsqil (memberatkan) dan atau yang lainnya.
d.      Ibnu Al-Jazari:
Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
e.       Muhammad Ali Ash-Shabuni:
Qira’at adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.
f.       Al-Qasthalani:
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulam yang menyangkut persoalan lughot, hadzaf, I’rib, itsbat, fashl dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan[3].
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama bahwa walaupun ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an tetapi sama-sama berasal dari satu sumber yaitu Nabi Muhammad. Dari beberapa definisi di atas terdapat tiga unsur qira’at:
 .        Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
a.       Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an it berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi.
b.      Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl[4]. 

               2.            Macam-Macam Qira’at
a.      Dari Segi Kuantitas:
1)      Qira’at Sab’ah (qira’at tujuh) :
a)      Abdullah bin Katsir Ad-Dari
b)      Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im
c)      Abdullah Al-Yahshibih
d)     Abu ‘Amar
e)      Al-Kuzai
f)       Hamzah bin Habib Al-Zayyat
g)      ‘Ashim bin Abi An-Najud Al-Asadi
2)      Qira’at ‘Asyarah (qira’at sepuluh)
Terdiri dari qira’at tujuh di atas ditambvah dengan tiga qira’at berikut:
 )        Abu Ja’far
a)      Ya’qub Al-Hadhrami
b)      Khallaf bin Hisyam
3)      Qira’at Arba’ata ‘Asyrah (qira’at empat belas)
Terdiri dari qira’at sepuluh di atas ditambah empat qira’at berikut:
 )        Al-Hasan Al-Bashri
a)      Muhammad bin ‘Abdirrahman (Ibnu Mahisy)
b)      Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi
b.      Dari Segi Kualitas:
Menurut  Al-Jazari, qira’at dikelompokkan menjadi lima bagian:
1)      Qira’at Mutawatir, yakni yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula, sehinnga tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Menurut Jumhur Ulama’, qira’at tujuh adalah yang mutawatir[5].
2)      Qira’at Masyhur, yakni yang memiliki sanad shahih, teteapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab dan tulisan mushaf ‘Utsmani, masyhur (terkenal) di kalangan ahli qira’at, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Misalnya, qira’atyang berbeda-beda alur periwayatannya dari imam qira’at yang tujuh. Sebagian periwayat meriwayatkan dari mereka dan sebagian yang lain tidak demikian. Di antara kitab yang paling masyhur menyangkut kedua macam qira’at ini adalah kitab Al-Taisir karangan Al-Dani, Al-Saithibiah karangan Al-Syaithibi dan Thibah Al-Nasyr fi Al-Qira’at karangan Al-Jazari. 
3)      Qira’at Ahad, yang memiliki sanad shahih, tetapi menyalahi tuisan mushaf utsmani dan kaidah Bahasa Arab, tidak memiliki kemasyhuran, dan tidak sah dibaca sebagai Al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya. Misalnya, riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim dari Abu Hurairah bahwa Nabi membaca Q.S. As-Sajdah(32):17,
فلا تعلم نفس ما اخفي لهم من قرات اعين
Sedangkan qira’ah versi Mushaf ‘Utsmani:
فلا تعلم نفس ما اخفي لهم من قرة اعين
4)      Qira’at Syadz (menyimpang),yakni yang sanadnya tidak shahih. Contoh qira’at ini adalah:
مالك يوم الدين
Sedangkan Mushaf ‘Utsmani:
مالك يوم الدين
5)      Qira’at Maudhu’ (palsu), seperti qira’at al-Khazzani.
Kemudian, As-Suyuti menambahkan qira’at yang keenam, yaitu:
6)      Qira’at Mudraj, yakni qira’at yang di dalamnya terdapat kalimat tambahan dengan tujuan penafsiran bagi ayat Al-Qur’an. Contoh, qira’at Abi Waqqash:
وله اخ او اخت من ام
Sedangkan mushaf ‘Utsmani:
وله اخ او اخت
Tolok ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at shahih adalah sebagai berikut:
a.       Bersesuaian dengan kaidah Bahasa Arab, baik yang fashih atau paling fashih.
b.      Sesuai dengan salah satu kaidah penulisan mushaf ‘Utsmani  walaupun hanya kemungkinan (ihtimal).
c.       Memiliki sanad yang shahih[6].



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Ilmu Munasabah
Ilmu munasabah adalah ilmu yang menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar suarat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, abstrak atau konkret, atau antara sebab-akibat, atau antara illat dan ma’lulnya, ataukah antara rasionil dan irrasionil, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi. Ilmu munasabah dibagi menjadi dua, yang pertama dilihat dari sifatnya,yaitu persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas dan persambungan yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh) atau samarnya persesuaian antara bagian Al-Quran dengan yang lain. Dan yang kedua dilihat dari materinya, yaitu munasabah antar ayat dan munasabah antar surat.
2.      Ilmu Qira’at
Ilmu qira’at adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl. Ilmu qira’at dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan kualitas dan kuantitasnya. Berdasarkan kualitasnya, Al-Jazari membagi qira’at menjadi enam bagian, yakni mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu’, dan mudraj. Sedangkan berdasarkan kuantitasnya, yakni qira’ah sab’ah, qira’ah ‘asyaroh, dan qira’ah arba’ata ‘asyarah.

B.     SARAN
Di dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kami menerima kritik dan saran dari para pembaca, agar dalam penulisan makalah selanjutnya kami dapat memperbaiki semuanya dan tidak akan mengulangi kesalahan lagi.





DAFTAR PUSTAKA

Chirzin, Muhamma, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
Wahid, Ramli Abdul, Ulumul Qur’an, Jakarta : Rajawali Pers , 1996.
Anwar,Rosihon, Ulum Al-Qur’an,bandung : pustaka setia,2007.
http:// makalah-ibnu.blogspot.com/2009/11/ilmu-munasabah.html
http:// pe,ikiranislam.wordpress.com/2007/08/23/teori-munasabah-al-quran/







[1] http:// makalah-ibnu.blogspot.com/2009/11/ilmu-munasabah.html

[2] Muhammad Chirzin.Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an.(Yogyakarta:PT Dana Bhakti Prima Yasa,1998).hlm.85.
[3] Ulumul Al-Qur’an
[4] ulumul Al-Qur’an.
[5] Ramli Abdul Wahid.Ulumul Qur’an.(Jakarta:Rajawali Pers,1992),hlm.119,cet.3.
[6] Ulumul Al-Qur’an.

No comments: