BAB
I
PENDAHULUAN
Biasanya suatu peristiwa yang dikaitkan dengan hukum
kausalitas akan dapat menarik perhatian para pendengar. Apalagi dalam peristiwa
itu mengandung pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa
terdahulu yang telah musnah, maka rasa ingin tahu untuk menyikap pesan-pesan
dan peristiwanya merupakan faktor yang paling kuat yang tertanam dalam hati.
Dan suatu nasihat dengan tutur kata yang disampaikan secara monoton, tidak
variatif tidak akan mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya pun tidak
akan mampu dipahami. Akan tetapi bila nasihat itu dituangkan dalam bentuk kisah
yang menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, maka akan
dapat meraih apa yang dituju. Orang pun tidak akan bosan mendengarkan dan
memperhatikannya, dia akan merasa rindu dan ingin tahu apa yang dikandungnya.
Akhirnya kisah itu akan menjelma menjadi suatu nasihat yang mampu
mempengaruhinya.
Sastra yang memuat kisah, dewasa ini telah menjadi disiplin
seni yang khusus di antara seni-seni lainnya dalam bahasa dan kesusastraan.
Tetapi “kisah-kisah nyata” Al-Qur’an telah membuktikan bahwa redaksi kearaban
yang dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang paling tinggi
nilainya.
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW.
Yang mengandung tuntunan-tuntunan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di
dunia dan akhirat, serta kebahagian lahir dan batin. Selain menggunakan cara
yang langsung, yaitu berbentuk perintah dan larangan, adakalanya tuntunan
tersebut disampaikan melalui kisah-kisah (Qashash), dengan tujuan untuk
menjelaskan bantahan terhadap kepercayaan-kepercayaan yang salah dan bantahan
terhadap setiap bujukan untuk berbuat ingkar.
Oleh karena itu di dalam Al-Qur’an kita mendapatkan banyak
kisah Nabi-nabi, Rasul-rasul dan umat-umat yang terdahulu, maka yang
dimaksudkan dengan kisah-kisah itu adalah pengajaran-pengajaran dan
petunjuk-petunjuk yang berguna bagi para penyeru kebenaran dan bagi orang-orang
yang diseru pada kebenaran.
Lantaran inilah maka Al-Qur’an tidak menguraikan kisahnya
seperti kitab sejarah tetapi memberi petunjuk. Petunjuk itu bukan dalam
mengetahui kelahiran Rasul dan keturunan serta kejadian-kejadiannya. Tetapi
petunjuk itu di dapatkan dalam cara Rasul mengembangkan kebenaran dan dalam
penderitaan-penderitaan yang dialami oleh para Rasul itu pula.
Untuk lebih jelasnya penulis akan membahasnya di dalam
makalah ini yaitu tentang qashash Al-Qur’an yang meliputi pengertian qashash
Al-Qur’an, ragam kisah dalam budaya Arab Jahiliyah, ungkapan kisah dalam
Al-Qur’an, rahasia pengulangan kisah dalam Al-Qur’an dan rahasia nama gelar,
tokoh dalam kisah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Qashash (Kisah)
Kata
qashash ( قصص ) adalah bentuk jamak dari kata qishshah ( قصة
). Kata itu berasal dari kata kerja qashsha - yaqushshu ( قص - يقص
). Kata qashash dan kata lain yang seakar dengannya, di dalam Al-Qur’an
tersebut sebanyak 30 kali.
Kisah
berasal dari kata al-qshashu yang berarti mencari atau mengikuti jejak.
Seperti contoh, “qashashtu atsarahu” artinya, “saya mengikuti atau
mencari jejaknya”. Kata al-qashash adalah bentuk masdar. Seperti dalam
firman Allah Q.S.Al-Kahfi (18): 64 yang berbunyi:
64.
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula.
Maksudnya,
kedua orang dalam ayat itu kembali lagi untuk mengikuti jejak dari mana
keduanya itu datang.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Kisah diartikan sebagai cerita atau kejadian
(riwayat dan sebagainya) dalam kehidupan seseorang.
Qashash
berarti
berita berurutan sedangkan al-qishshah berarti urusan, berita, perkara,
keadaan. Firman Allah Q.S Ali Imran (3): 62 yang berbunyi:
62.
Sesungguhnya Ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah; dan Sesungguhnya Allah, dialah yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana .
Juga
dalam Q.S. Yusuf (12): 111 yang berbunyi:
111.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat,
akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Hasbi
Ash Shiddieqy menyatakan bahwa pengertian dari Qashash adalah mencari
bekasan atau mengikuti bekasan (jejak). Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan
bahwa lafadz qashash adalah bentuk masdar yang berarti mencari bekasan
atau jejak, dengan memperhatikan ayat-ayat berikut ini:
“
lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula ”. (QS. Al-Kahfi: 64)
“
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah yang maha perkasa lagi
maha bijaksana”. (QS Ali Imran: 62).
“
Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal.
Al
Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (QS. Yusuf: 111).
Sedangkan
menurut Manna al-Qattan Qashash Al-Qur’an adalah pemberitaan Al-Qur’an
tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang
terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur’an banyak
mengandung keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa – bangsa,
keadaan negeri - negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan
semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona.
Dari
berbagai pengertian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa secara global
pengertian dari Qashash Al-Qur’an adalah pemberitahuan Qur’an tentang
kisah umat yang telah lalu, kisah-kisa nabi, yang memuat berbagai peristiwa
yang telah terjadi. Di samping itu Qur’an juga memuat segala sesuatu sebagai
petunjuk bagi ummat manusia.[1]
Jenis
– Jenis Qashash Al-Qur’an
Dilihat
dari Sudut Pandang Pelaku dan Peristiwa yang Mengikutinya
Dilihat
dari sudut pandang peristiwa, maka sangat mungkinlah jika selalu berkaitan
dengan para pelaku peristiwa itu sendiri. Dalam hal ini dapat dibagi menjadi
tiga yaitu:
Kisah
Para Nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat
yang memperkuat dakwahnya, sikap-sikap orang-orang yang memusuhinya,
tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima
oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nuh,
Ibrahim, Musa Harun, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul-rasul lainnya.
Kisah-kisah
yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan
orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar
dari kampong halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talut
dan Jalut, dua orang putra Adam, penghuni gua, Zulkarnain, orang-orang yang
menangkap ikan pada hari Sabtu, Maryam, Ashabul Ukhdud, Ashabul Fil (pasukan
gajah) dan lain sebagainya.
Kisah-kisah
yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah,
seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surah Ali ‘Imran, perang Hunain dan
Tabuk dalam surah At-Taubah, perang Ahzab dalah surat Al-Azhab, hijrah,
Isra-Mi’raj dan lain-lain.
Dilihat
dari Panjang Pendeknya Kisah
Dilihat
dari panjang pendeknya kisah Al-Qur’an, dapat dikategorikan menjadi tiga bagian
yaitu:
Kisah
Panjang, contohnya kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (12) yang hampir seluruh
ayatnya mengungkapkan kehidupan Nabi Yusuf, sejak masa kanak-kanak sampai dewasa
dan memiliki kekuasaan. Contoh lainnya adalah kisah Nabi Musa dalam surah
al-Qashash (28), kisah Nabi Nuh dan kaumnya dalam surah Nuh (71), dan
lain-lain.
Kisah
yang lebih pendek dari bagian pertama (sedang), seperti kisah Maryam dalam
surah Maryam (19), kisah Ashab al-kahfi pada surah Al-Kahfi (18), kisah Nabi
Adam dalam surah Al-Baqarah (2) dan surah Thoha (20) yang terdiri atas sepuluh
atau belasan ayat saja.
Kisah
Pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah
Nabi Hud dan Nabi Luth dalam surah Al-A’raf (7), kisah Nabi Shalih dalam surat
Hud (110), dan lain sebagainya.
Ditinjau
dari segi waktu, antara lain:
1.
Gaib pada masa lalu; dikatakan masa lalu
karena kisah-kisah tersebut merupakan hal gaib yang terjadi pada masa lampau,
dan disadari atau tidak kita tidak menyaksikan peristiwa tersebut, tidak
mendengarkan juga tidak mengalaminya sendiri.
Contoh-contoh dari kisah ini adalah:



2.
Gaib pada masa kini; dalam artian bahwa
kisah tersebut terjadi pada masa sekarang, namun kita tidak dapat melihatnya di
bumi ini.
Contoh-contoh dari kisah ini adalah:
Ø Kisah
tentang turunnya Malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar, seperti disebutkan
dalam QS. Al-Qadar: 1-5
Ø Kisah
tentang kehidupan makhluq-mahkluq gaib seperti setan, jin, Iblis, seperti
tercantum dalam QS. Al-A'raf: 13-14.
Ø Gaib
pada masa depan, dengan penjelasan bahwa semua akan terjadi pada masa depan (
di akhir zaman), Contoh-contoh dari kisah ini adalah;
Ø Kisah
tentang akan datangnya hari kiamat, seperti tercamtu dalam QS. Qori'ah,
Al-Zalzalah.
Ø Kisah
Abu Lahab kelak di akhirat, seperti terdapat pada QS. Al-Lahab.
Ø Kisah
tentang surga dan neraka orang-orang di dalamnya, seperti dijelaskan dalam QS.
Al-Ghosiyah dan surat-surat yang lain .
Tujuan
Qashash Al-Qur’an
Adanya
kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti yang kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an
sangat sesuai dengan kondisi mereka. Karena sejak kecil sampai dewasa dan tua
bangka tak ada orang yang tak suka pada kisah, apalagi bila kisah itu mempunyai
tujuan ganda, yakni sebagai pelajaran dan pendidikan, juga berfungsi sebagai
hiburan. al-Qur’an sebagai kitab hidayah mencakup kedua aspek itu; bahkan
disamping tujuan yang mulia itu, kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam bahasa
yang sangat indah dan menarik, sehingga tidak ada orang yang bosan mendengar
dan membacanya. Sejak dulu sampai sekarang telah berlalu lebih dari empat belas
abad, kisah-kisah al-Qur’an yang diungkapkan dalam bahasa Arab itu masih up
to date, mendapat tempat dan hidup di hati ummat; padahal bahasa-bahasa
lain sudah banyak yang masuk museum, dan tidak terpakai lagi dalam
berkomunikasi seperti bahasa Ibrani, Latin, dan lain-lain.
Kisah-kisah
dalam al-Qur’an secara umum bertujuan kebenaran dan semata-mata tujuan
keagamaan. Jika dilihat dari keseluruhan kisah yang ada,
maka tujuan-tujuan tersebut dirinci sebagai berikut:
1)
Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan.
Dalam al-Qur’an tujuan ini diterangkan dengan jelas di antaranya dalam Q.S.
Yusuf (12): 2-3 dan Q.S. Al- Qashash (28): 3. sebelum mengutarakan cerita nabi
Musa lebih dahulu al-Qur’an menegaskan, “Kami membacakan kepadamu sebagian dari
cerita Musa dan Firaun dengan sebenarnya untuk kau yang beriman”. Dalam Q.S.
Ali Imran (3): 44 pada permulaan cerita Maryam disebutkan, itulah berita yang
ghaib, yang kami wahyukan kepadamu.
2)
Menerangkan bahwa agama semuanya dari
Allah, dari masa nabi Nuh sampai dengan nabi Muhammad saw; bahwa kaum muslimin
semuanya merupakan satu ummat; bahwa Allah yang maha Esa adalah Tuhan bagi
senuanya”. (Q.S. Al-Anbiyaa’ (21): 51 – 92 .
3)
Menerangkan bahwa cara yang ditempuh
oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap
dakwahnya itu juga serupa. (Q.S. Hud).
4)
Menerangkan dasar yang sama antara agama
yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, dengan agama Nabi Ibrahim, secara
khusus dengan agama-agama bangsa Israel pada umumnya dan menerangkan bahwa
hubungan itu lebih erat daripada hubungan yang umum antara semua agama. Keterangan
ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa.
Ragam Kisah dalam Budaya Arab Jahiliyah
Kebiasaan mengembara membuat orang-orang Arab senang
hidup bebas, tanpa aturan yang mengikat sehingga mereka menjunjung tinggi
nilai-nilai kebebasan. Pada musim paceklik dan musim panas, mereka terbiasa
melakukan perampasan sebagai sarana hidup.
Peperangan antar kabilah untuk merebut sumber mata air
menjadi tradisi yang kuat, bahkan berlanjut dari generasi ke generasi. Karena
itu, mereka membutuhkan keturunan yang banyak terutama anak laki-laki untuk
menjaga kehormatan kabilahnya.
Sementara anak perempuan, dalam pandangan mereka dianggap
sebagai makhluk inferioritas yang tidak memberikan kontribusi apa pun, maka
dengan terpaksa harus dikubur “hidup-hidup”.
Jika malam tiba, mereka mengisinya dengan hiburan malam yang
sangat meriah. Sambil meminum minuman keras para penyanyi melantunkan lagu-lagu
dengan iringan musik yang iramanya menghentak-hentak dari tetabuhan yang
terbuat dari kulit.
Dalam keadaan mabuk jiwa mereka melayang-layang penuh dengan
khayalan, kenikmatan, dan keindahan. Dan dengan bermabuk-mabukan itu pula
mereka dapat melupakan kesulitan dan kekerasan hidup di tengah padang pasir.[3]
Namun di balik watak dan prilaku keras mereka memiliki jiwa
seni yang sangat halus dalam bidang sastra, khususnya syair.
Al-Qur’an,
turun dalam situasi di mana bahasa dan sastra Arab (Jahiliyah)
mencapai puncak kejayaan. Al-Qur’an tampil dengan berbahasa Arab,
agar dapat dipahami oleh manusia pada waktu itu. Sebagaimana firman Allah: [4] “Sesungguhnya Kami menurunkannya
berupa Al-Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti” (Q.S. Yusuf: 2)
Para penyair ketika itu memiliki kedudukan yang sangat
terhormat pada setiap kabilah, karena mereka dianggap sebagai penjaga martabat
serta kehormatan kabilahnya. Dengan begitu mereka disanjung-sanjung setinggi
langit oleh kabilahnya.[5]
Perang pena antara penyair antar kabilah, telah membawa
mereka kepada sebuah kompetisi syair yang di selenggarakan di suatu pasar yang
disebut Ukazh. Dari perang pena yang terjadi di Ukazh, lahirlah
karya-karya sastra yang lebih dikenal dengan sebutan “mu’allaqat”.
Disebut mu’allaqat, karena syair yang terpilih menjadi yang terbaik – konon
katanya – akan digantungkan di dinding ka’bah dan ditulis dengan tinta mas.[6]
Ungkapan kisah dalam Al-Qur’an
Dalam mengemukakan kisah, Al-Qur’an tidak segan untuk
menceritakan kelemahan manusia. Namun, hal tersebut digambarkan sebagaimana
adanya, tanpa menonjolkan segi-segi yang dapat mengundang rangsangan. Kisah
tersebut biasanya diakhiri dengan menekankan akibat dari kelemahan diri
seseorang yang digambarkannya, pada saat kesadaran manusia dan kemenangannya
mengatasi kelemahan itu.[7] Sebagai contoh, kisah Qarun yang
diungkapkan dalam Surat Al-Qashash: 78-81:
“
Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku beri (harta itu), semata-mata karena
ilmu yang ada padaku.” Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan
umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan
harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa
mereka. Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan kemegahannya.
Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata, “Mudah-mudahan kita
mempunyai harta kekayaan seperti yang telah diberikan kepada Qarun,
sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Tetapi orang-orang
yang dianugrahi ilmu berkata,: Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih
baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang
besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar. (Al-Qashash: 78-81)[8]
Demikian pula kisah Nabi Sulaiman, ketika terpengaruh oleh
keindahan kuda-kudanya. Sebagaimana yang dikisahkan dalam Surat Shad 30-35:
“Dan
kepada Dawud Kami karuniakan (anak bernama) Sulaiman, dia adalah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhannya). (ingatlah) ketika
dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat
waktu berlari pada waktu sore. Maka ia berkata: “Sesungguhnya aku menyukai
kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat
Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan”. “Bawalah semua kuda itu kembali
kepadaku”. Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu. Dan sesungguhnya Kami
telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya
sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat. Ia berkata: “Ya
Tuhanku, ampunilah aku dan anugrahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki
oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”(Shad:
30-35)
Pada hakikatnya masih banyak kisah-kisah yang termaktub
didalam al-Qur’an namun ungkapan kisah yang banyak terdapat dalam Al-Qur’an
adalah surat al-Qashash, al-Anbiya, Yusuf.
Manna’
Al-Qathan, membagi qashas Al-Quran dalam tiga bagian, yaitu:
a. Kisah para nabi terdahulu
Bagian ini berisikan ajakan para nabi kepada
kaumnya;mukjizat-mukjizat dari Allah yang memperkuat dakwah mereka, sikap
orang-orang yang memusuhinya, serta tahapan-tahapan dakwah perkembangannya, dan
akibat yang menimpa orang beriman dan orang yang mendustakan para nabi.
Contohnya:
·
Kisah
Nabi Adam (QS.Al-Baqarah : 30-39. Al-Araf : 11 dan lainnya);
·
Kisah
Nabi Nuh (QS.Hud : 25-49);
·
Kisah
Nabi Hud (QS. Al-A’Raf: 65, 72, 50, 58);
·
Kisah
Nabi Idris (QS.Maryam: 56-57, Al-Anbiya: 85-86);
·
Kisah
Nabi Yunus (QS.Yunus: 98, Al-An’am: 86-87);
·
Kisah
Nabi Luth (QS.Hud: 69-83);
·
Kisah
Nabi Salih (QS.Al-A’Raf: 85-93);
·
Kisah
Nabi Musa (QS.Al-Baqarah: 49, 61, Al-A’raf: 103-157) dan lainnya;
·
Kisah
Nabi Harun (QS.An-Nisa: 163);
·
Kisah
Nabi Daud (QS.Saba: 10, Al-Anbiya: 78);
·
Kisah
Nabi Sulaiman (QS.An-Naml : 15, 44, Saba: 12-14);
·
Kisah
Nabi Ayub (QS. Al-An ‘am: 34, Al-Anbiya: 83-84);
·
Kisah
Nabi Ilyas (QS.Al-An’am: 85);
·
Kisah
Nabi Ilyasa (QS.Shad: 48);
·
Kisah
Nabi Ibrahim (QS.Al-Baqarah: 124, 132, Al-An’am: 74-83);
·
Kisah
Nabi Ismail (QS.Al-An’am: 86-87);
·
Kisah
Nabi Ishaq (QS.Al-Baqarah: 133-136);
·
Kisah
Nabi Ya’qub (QS.Al-Baqarah: 132-140);
·
Kisah
Nabi Yusuf (QS.Yusuf: 3-102);
·
Kisah
Nabi Yahya (QS.Al-An’am: 85);
·
Kisah
Nabi Zakaria (QS.Maryam: 2-15);
·
Kisah
Nabi Isa (QS.Al-Maidah: 110-120);
·
Kisah
Nabi Muhammad (QS.At-Takwir: 22-24, Al-Furqan: 4, Abasa: 1-10, At-Taubah: 43
-57 dan lainnya.
b. Kisah yang berhubungan dengan kejadian pada masa lalu
dan orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya
·
Kisah
tentang Luqman (QS.Luqman: 12-13);
·
Kisah
tantang Dzul Qarnain (QS. Al-Kahfi: 83-98);
·
Kisah
tentang Ashabul Kahfi (QS.Al-Kahfi: 9-26);
·
Kisah
tentang thalut dan jalut (QS.Al-Baqarah: 246-251);
·
Kisah
tentang Yajuj Ma’fuz (QS.Al-Anbiya: 95-97);
·
Kisah
tentang bangsa Romawi (QS.Ar-Rum: 2-4).
c
Kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah
·
Kisah
tentang Ababil (QS.Al-Fil: 1-5);
·
Kisah
tentang hijrahnya Nabi SAW (QS.Muhammad: 13);
·
Kisah
tentang perang Badar dan Uhud (QS. Ali Imran);
·
Kisah
tentang perang hunain dan At-Tabuk (QS. Taubah).
Kisah dalam Al-Qur’an bukanlah suatu gubahan yang hanya
bernilai sastra saja akan tetapi kisah dalam Al-Qur’an merupakan salah satu
media untuk mewujudkan tujuan aslinya. Oleh karena itu kisah yang ada didalam
Al-Qur’an bersifat hakiki sedangkan kisah yang dibuat manusia bersifat khayali.
Pada masa sekarang telah banyak timbul penjabaran kisah-kisah yang tidak
dijelaskan di dalam Al-Quran. Kisah-kisah ini berasal dari sejarah. Kisah-kisah
dalam al-Qur’an hanya dikemukakan secara singkat dengan menitik beratkan pada
aspek-aspek nasehat dan ibrahnya, tidak mengungkapkan secara detil, seperti
nama-nama negeri dan nama-nama pribadi. Adapun Taurat dan Injil mengemukakannya
secara panjang lebar dan detil.
Ketika Ahli Kitab masuk Islam, mereka masih membawa
pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita dan kisah keagamaan. Dan di saat
membaca kisah-kisah dalam Al-Qur’an, terkadang mereka memaparkan kisah itu
seperti yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Olehkarena itu para sahabat
cukup berhati-hati terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan itu. Berita-berita
yang diceritakan Ahli Kitab yang masuk Islam itulah yang dinamakan Isra’iliyat.
Tujuan
Qashash Al-Qur’an
Adanya
kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti yang kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an
sangat sesuai dengan kondisi mereka. Karena sejak kecil sampai dewasa dan tua
bangka tak ada orang yang tak suka pada kisah, apalagi bila kisah itu mempunyai
tujuan ganda, yakni sebagai pelajaran dan pendidikan, juga berfungsi sebagai
hiburan. al-Qur’an sebagai kitab hidayah mencakup kedua aspek itu; bahkan
disamping tujuan yang mulia itu, kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam bahasa
yang sangat indah dan menarik, sehingga tidak ada orang yang bosan mendengar
dan membacanya. Sejak dulu sampai sekarang telah berlalu lebih dari empat belas
abad, kisah-kisah al-Qur’an yang diungkapkan dalam bahasa Arab itu masih up
to date, mendapat tempat dan hidup di hati ummat; padahal bahasa-bahasa
lain sudah banyak yang masuk museum, dan tidak terpakai lagi dalam
berkomunikasi seperti bahasa Ibrani, Latin, dan lain-lain.
Kisah-kisah
dalam al-Qur’an secara umum bertujuan kebenaran dan semata-mata tujuan
keagamaan. Jika dilihat dari keseluruhan kisah yang ada, maka tujuan-tujuan
tersebut dirinci sebagai berikut:
1) Menetapkan
adanya wahyu dan kerasulan. Dalam al-Qur’an tujuan ini diterangkan dengan jelas
di antaranya dalam Q.S. Yusuf (12): 2-3 dan Q.S. Al- Qashash (28): 3. sebelum
mengutarakan cerita nabi Musa lebih dahulu al-Qur’an menegaskan, “Kami
membacakan kepadamu sebagian dari cerita Musa dan Firaun dengan sebenarnya
untuk kau yang beriman”. Dalam Q.S. Ali Imran (3): 44 pada permulaan cerita
Maryam disebutkan, itulah berita yang ghaib, yang kami wahyukan kepadamu.
2) Menerangkan
bahwa agama semuanya dari Allah, dari masa nabi Nuh sampai dengan nabi Muhammad
saw; bahwa kaum muslimin semuanya merupakan satu ummat; bahwa Allah yang maha
Esa adalah Tuhan bagi senuanya”. (Q.S. Al-Anbiyaa’ (21): 51 – 92 .
3) Menerangkan
bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan
kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa. (Q.S. Hud).
4) Menerangkan
dasar yang sama antara agama yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, dengan
agama Nabi Ibrahim, secara khusus dengan agama-agama bangsa Israel pada umumnya
dan menerangkan bahwa hubungan itu lebih erat daripada hubungan yang umum
antara semua agama. Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi
Ibrahim, Musa, dan Isa.
Faedah
Mempelajari Qashash Al-Qur’an
Menjelaskan asas-asas dakwah menuju
Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para Nabi: “Dan kami
tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya
bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian Aku”.
(Al-Anbiya (21): 25).
Meneguhkan hati Rasulullah dan hati
ummat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang
menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebathilan dan para
pembelanya.
Membenarkan para Nabi terdahulu,
menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak peninggalannya.
Menampakkan kebenaran Muhammad dalam
dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang
terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.
Menyibak kebohongan para ahli kitab
dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan
dan menentang mereka sebelum kitab itu diubahnya. As-Syeikh Muhammad Abduh
(Pelopor visi dan paradigma rasional (kompromi antara Islam dengan peradaban
barat) berpendapat bahwa tidak perlu memadukan antara cerita-cerita yang ada
dalam Al-Qur’an dengan isi kitab bani Israil atau kitab-kitab sejarah kuno.
Menurutnya Al-Qur’an bukanlah catatan sejarah, juga bukan kisah/dongeng akan
tetapi merupakan petunjuk dan peringatan sehingga hal-hal yang diungkapkan
dalam Al-Qur’an diharapkan menjadi pelajaran dan menjelaskan sunnah-sunnah
kemasyarakatan.
Kisah
termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar
dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa. Firman Allah:
Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
berakal. (QS. Yusuf (12): 111).
Melihat
manfaat yang ada, tentunya kita dapat memahami bahwasanya kisah yang terkandung
dalam Al-Qur’an dapat memberikan pemahaman kepada kita tentang arti pentingnya
pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an sebagai pelajaran.
Hikmah
Pengulangan Qashash Al-Qur’an
Menurut
Manna Khalil al-Qattan, bahwa pwnyajian kisah-kisah dalam al-qur’an begitu rupa
mengandung beberapa hikmah, yaitu:
Menjelaskan
ke-balagah-an al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Sebab di antara
keistimewaan balagah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam
bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat
dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola
yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya,
bahkan dapat menambah kedalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan
disaat membacanya ditempat lain.
Menunjukkan
kehebatan mukjizat al-Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam bentuk
susunan kalimat di mana salah satu bentukpun tidak dapat ditandingi oleh
sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa al-Qur’an itu
datang dari Allah.
Memberikan
perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan
melekat dalam jiwa. Hal ini karena penulangan merupakan salah satu cara
pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian.
Perbedaan
tujuan yang karenanya kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya
diterangkan di suatu tempat karena hanya itulah yang diperlukan, sedang
makna-makna lainnya dikemukakan di tempat lain sesuai dengan tuntutan keadaan.
Rahasia nama gelar, tokoh dalam kisah
Dalam mengungkapkan kisah peristiwa-peristiwa yang
sudah dan akan terjadi, Al-Qur’an menyebutkan beberapa pelaku atau tokoh dari
suatu peristiwa. Terkadang pelaku peristiwa tidak disebutkan secara
langsung dalam Al-Qur’an, tetapi hanya secara maknawi, terutama kisah-kisah
yang pelakunya secara kolektif, maka hanya disebutkan secara simbolis, seperti:
kaum ‘Ad, kaum Luth, Bani Israil, kaum Quraisy dan lain sebagainya.
Tidak jarang juga pelaku kisah dalam Al-Quran disebutkan
namanya langsung, contohnya:
a.
Nama Nabi, Seperti:
1.
Adam
(QS.Al-Baqarah (ayat 31, 33, 34, 35, 37);
2.
Nuh
(QS.Hud ayat 25, 32, 42, 45, 46, 48, 89);
3.
Idris
(QS. Maryam ayat 57 dan QS.Al-Anbiya ayat 85);
4.
Ibrahim
(QS.Hud ayat 69, 74, 75, 76);
5.
Isma’il
(QS.Al-Baqarah ayat 125,127,133,136,140);
6.
Ishaq
(QS.Al-Baqarah ayat 132,133,136,140);
b.
Nama Malaikat, seperti:
1.
Jibril
(QS.At-Tahrim ayat 4 dan QS. Al-Baqarah (2) ayat 97, 98);
2.
Mika’il
(QS.Al-Baqarah ayat 98).
c.
Nama Sahabat, seperti Zaid bin Harist (QS.Al-Ahzab ayat 37)
1.
Nama
tokoh terdahulu non-Nabi dan Rasul, seperti:
2.
Imran
(QS.Ali-Imran ayat 33, 35);
3.
Uzair
(QS.Yunus ayat 30); dan
4.
Tuba’
(QS.Ad-Dukhan ayat 37)
d.
Nama Wanita, seperti: Maryam (QS.Ali-Imran ayat 36, 37, 42, 43, 45)
Disamping
nama pelaku, Al-Quran juga menuturkan gelar pelaku kisah, seperti Abu Lahab
pada Q.S Al-Lahab ayat 1, namanya sendiri adalah Abdul Uzza.[12]
Adapun
rahasia dari penggunaan nama gelar dan tokoh dalam kisah adalah:
1)
Kita
dapat mencontoh kisah-kisah kehidupan para Nabi, orang-orang yang beriman dan
beramal saleh;
2)
Memudahkan
kita untuk mengingat kisah-kisah tersebut;
3)
Memudahkan
kita dalam memahami maksud dan tujuan kandungan kisah dalam Al-Qur’an.
Penutup
Secara etimologi (bahasa), Qashash adalah urusan (al-amr),
berita (khabar), dan keadaan (hal). Dalam bahasa Indonesia, kata itu
diterjemahkan dengan kisah yang berarti kejadian.
Sedangkan secara terminologi (istilah) Qashash al-Quran
adalah kisah-kisah dalam Al-Qur’an tentang para Nabi dan Rasul mereka serta
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini, dan masa yang
akan datang.
Banyak kisah-kisah yang diungkapkan di dalam Al-Qur’an
seperti kisah Qarun, Nabi Sulaiman dan kisah-kisah yang lain.
Faedah qashash dalam Al-Qur’an adalah:
1.
Menjelaskan
prinsip-prinsip dakwah agama Allah dan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh
setiap nabi.
2.
Meneguhkan
hati Rasulullah dan hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan
kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnya pertolongan Allah dan
hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya.
3.
Membenarkan
nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka;
4.
Memperlihatkan
kebenaran Nabi Muhammad dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu
5.
Membuktikan
kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk.
6.
Kisah
merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik bagi setiap pendengarnya dan
memberikan pengajaran yang tertanam dalam jiwa.
Menurut Manna’ Al-Qaththan, rahasia pengulangan kisah dalam
Al-Qur’an adalah:
1) Menjelaskan ke-balaghah-an
Al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi;
2) Menunjukkan kehebatan mukjizat
Al-Quran;
3) Memberikan perhatian besar terhadap
kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih berkesan dan melekat dalam jiwa;
4) Setiap kisah memiliki maksud dan
tujuan berbeda.
Adapun rahasia yang dapat diambil dari penggunaan nama gelar
dan tokoh dalam kisah adalah:
1. Kita dapat mencontoh kisah-kisah
kehidupan para Nabi, orang-orang yang beriman dan beramal saleh;
2. Memudahkan kita untuk mengingat
kisah-kisah tersebut;
3. Memudahkan kita dalam memahami
maksud dan tujuan kandungan kisah dalam Al-Qur’an.
No comments:
Post a Comment