Tuesday, 10 July 2012

Qashas Al-Qur'an


BAB I
PENDAHULUAN
Biasanya suatu peristiwa yang dikaitkan dengan hukum kausalitas akan dapat menarik perhatian para pendengar. Apalagi dalam peristiwa itu mengandung pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa terdahulu yang telah musnah, maka rasa ingin tahu untuk menyikap pesan-pesan dan peristiwanya merupakan faktor yang paling kuat yang tertanam dalam hati. Dan suatu nasihat dengan tutur kata yang disampaikan secara monoton, tidak variatif tidak akan mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya pun tidak akan mampu dipahami. Akan tetapi bila nasihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, maka akan dapat meraih apa yang dituju. Orang pun tidak akan bosan mendengarkan dan memperhatikannya, dia akan merasa rindu dan ingin tahu apa yang dikandungnya. Akhirnya kisah itu akan menjelma menjadi suatu nasihat yang mampu mempengaruhinya.
Sastra yang memuat kisah, dewasa ini telah menjadi disiplin seni yang khusus di antara seni-seni lainnya dalam bahasa dan kesusastraan. Tetapi “kisah-kisah nyata” Al-Qur’an telah membuktikan bahwa redaksi kearaban yang dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang paling tinggi nilainya.
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Yang mengandung tuntunan-tuntunan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta kebahagian lahir dan batin. Selain menggunakan cara yang langsung, yaitu berbentuk perintah dan larangan, adakalanya tuntunan tersebut disampaikan melalui kisah-kisah (Qashash), dengan tujuan untuk menjelaskan bantahan terhadap kepercayaan-kepercayaan yang salah dan bantahan terhadap setiap bujukan untuk berbuat ingkar.
Oleh karena itu di dalam Al-Qur’an kita mendapatkan banyak kisah Nabi-nabi, Rasul-rasul dan umat-umat yang terdahulu, maka yang dimaksudkan dengan kisah-kisah itu adalah pengajaran-pengajaran dan petunjuk-petunjuk yang berguna bagi para penyeru kebenaran dan bagi orang-orang yang diseru pada kebenaran.
Lantaran inilah maka Al-Qur’an tidak menguraikan kisahnya seperti kitab sejarah tetapi memberi petunjuk. Petunjuk itu bukan dalam mengetahui kelahiran Rasul dan keturunan serta kejadian-kejadiannya. Tetapi petunjuk itu di dapatkan dalam cara Rasul mengembangkan kebenaran dan dalam penderitaan-penderitaan yang dialami oleh para Rasul itu pula.
Untuk lebih jelasnya penulis akan membahasnya di dalam makalah ini yaitu tentang qashash Al-Qur’an yang meliputi pengertian qashash Al-Qur’an, ragam kisah dalam budaya Arab Jahiliyah, ungkapan kisah dalam Al-Qur’an, rahasia pengulangan kisah dalam Al-Qur’an dan rahasia nama gelar, tokoh dalam kisah.



















BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Qashash (Kisah)
Kata qashash ( قصص ) adalah bentuk jamak dari kata qishshah ( قصة ). Kata itu berasal dari kata kerja qashsha - yaqushshu ( قص - يقص ). Kata qashash dan kata lain yang seakar dengannya, di dalam Al-Qur’an tersebut sebanyak 30 kali.
Kisah berasal dari kata al-qshashu yang berarti mencari atau mengikuti jejak. Seperti contoh, “qashashtu atsarahu” artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya”. Kata al-qashash adalah bentuk masdar. Seperti dalam firman Allah Q.S.Al-Kahfi (18): 64 yang berbunyi:
64.  Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
Maksudnya, kedua orang dalam ayat itu kembali lagi untuk mengikuti jejak dari mana keduanya itu datang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kisah diartikan sebagai cerita atau kejadian (riwayat dan sebagainya) dalam kehidupan seseorang.
Qashash berarti berita berurutan sedangkan al-qishshah berarti urusan, berita, perkara, keadaan. Firman Allah Q.S Ali Imran (3): 62 yang berbunyi:
62.  Sesungguhnya Ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan Sesungguhnya Allah, dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .
Juga dalam Q.S. Yusuf (12): 111 yang berbunyi:
111.  Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan bahwa pengertian dari Qashash adalah mencari bekasan atau mengikuti bekasan (jejak). Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan bahwa lafadz qashash adalah bentuk masdar yang berarti mencari bekasan atau jejak, dengan memperhatikan ayat-ayat berikut ini:
“ lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula ”. (QS. Al-Kahfi: 64)
“ Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah yang maha perkasa lagi maha bijaksana”. (QS Ali Imran: 62).
“ Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (QS. Yusuf: 111).
Sedangkan menurut Manna al-Qattan Qashash Al-Qur’an adalah pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa – bangsa, keadaan negeri - negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa secara global pengertian dari Qashash Al-Qur’an adalah pemberitahuan Qur’an tentang kisah umat yang telah lalu, kisah-kisa nabi, yang memuat berbagai peristiwa yang telah terjadi. Di samping itu Qur’an juga memuat segala sesuatu sebagai petunjuk bagi ummat manusia.[1]
Jenis – Jenis Qashash Al-Qur’an                   
Dilihat dari Sudut Pandang Pelaku dan Peristiwa yang Mengikutinya
Dilihat dari sudut pandang peristiwa, maka sangat mungkinlah jika selalu berkaitan dengan para pelaku peristiwa itu sendiri. Dalam hal ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
Kisah Para Nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap-sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nuh, Ibrahim, Musa Harun, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul-rasul lainnya.
Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar dari kampong halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putra Adam, penghuni gua, Zulkarnain, orang-orang yang menangkap ikan pada hari Sabtu, Maryam, Ashabul Ukhdud, Ashabul Fil (pasukan gajah) dan lain sebagainya.
Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surah Ali ‘Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah At-Taubah, perang Ahzab dalah surat Al-Azhab, hijrah, Isra-Mi’raj dan lain-lain.
Dilihat dari Panjang Pendeknya Kisah
Dilihat dari panjang pendeknya kisah Al-Qur’an, dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu:
Kisah Panjang, contohnya kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (12) yang hampir seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan Nabi Yusuf, sejak masa kanak-kanak sampai dewasa dan memiliki kekuasaan. Contoh lainnya adalah kisah Nabi Musa dalam surah al-Qashash (28), kisah Nabi Nuh dan kaumnya dalam surah Nuh (71), dan lain-lain.
Kisah yang lebih pendek dari bagian pertama (sedang), seperti kisah Maryam dalam surah Maryam (19), kisah Ashab al-kahfi pada surah Al-Kahfi (18), kisah Nabi Adam dalam surah Al-Baqarah (2) dan surah Thoha (20) yang terdiri atas sepuluh atau belasan ayat saja.
Kisah Pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah Nabi Hud dan Nabi Luth dalam surah Al-A’raf (7), kisah Nabi Shalih dalam surat Hud (110), dan lain sebagainya.
Ditinjau dari segi waktu, antara lain:
1.                  Gaib pada masa lalu; dikatakan masa lalu karena kisah-kisah tersebut merupakan hal gaib yang terjadi pada masa lampau, dan disadari atau tidak kita tidak menyaksikan peristiwa tersebut, tidak mendengarkan juga tidak mengalaminya sendiri.
Contoh-contoh dari kisah ini adalah:
*      Kisah tentang dialog malaikat dengan tuhannya mengenai penciptaan kholifah di bumi, sebabagaimana tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 30-34
*      Kisah tentang penciptaan alam semesta, sebagaimana diceritakan dalam QS. Al-Furqon: 59 dan QS. Qaf: 38.
*      Kisah tentang penciptaan nabi Adam AS dan kehidupannya ketika d surga, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-A'raf: 7
2.                  Gaib pada masa kini; dalam artian bahwa kisah tersebut terjadi pada masa sekarang, namun kita tidak dapat melihatnya di bumi ini.
Contoh-contoh dari kisah ini adalah:
Ø  Kisah tentang turunnya Malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar, seperti disebutkan dalam QS. Al-Qadar: 1-5
Ø  Kisah tentang kehidupan makhluq-mahkluq gaib seperti setan, jin, Iblis, seperti tercantum dalam QS. Al-A'raf: 13-14.
Ø  Gaib pada masa depan, dengan penjelasan bahwa semua akan terjadi pada masa depan ( di akhir zaman), Contoh-contoh dari kisah ini adalah;
Ø  Kisah tentang akan datangnya hari kiamat, seperti tercamtu dalam QS. Qori'ah, Al-Zalzalah.
Ø  Kisah Abu Lahab kelak di akhirat, seperti terdapat pada QS. Al-Lahab.
Ø  Kisah tentang surga dan neraka orang-orang di dalamnya, seperti dijelaskan dalam QS. Al-Ghosiyah dan surat-surat yang lain .
Tujuan Qashash Al-Qur’an
Adanya kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti yang kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an sangat sesuai dengan kondisi mereka. Karena sejak kecil sampai dewasa dan tua bangka tak ada orang yang tak suka pada kisah, apalagi bila kisah itu mempunyai tujuan ganda, yakni sebagai pelajaran dan pendidikan, juga berfungsi sebagai hiburan. al-Qur’an sebagai kitab hidayah mencakup kedua aspek itu; bahkan disamping tujuan yang mulia itu, kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam bahasa yang sangat indah dan menarik, sehingga tidak ada orang yang bosan mendengar dan membacanya. Sejak dulu sampai sekarang telah berlalu lebih dari empat belas abad, kisah-kisah al-Qur’an yang diungkapkan dalam bahasa Arab itu masih up to date, mendapat tempat dan hidup di hati ummat; padahal bahasa-bahasa lain sudah banyak yang masuk museum, dan tidak terpakai lagi dalam berkomunikasi seperti bahasa Ibrani, Latin, dan lain-lain.
Kisah-kisah dalam al-Qur’an secara umum bertujuan kebenaran dan semata-mata tujuan keagamaan. Jika dilihat dari keseluruhan kisah yang ada, maka tujuan-tujuan tersebut dirinci sebagai berikut:
1)      Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan. Dalam al-Qur’an tujuan ini diterangkan dengan jelas di antaranya dalam Q.S. Yusuf (12): 2-3 dan Q.S. Al- Qashash (28): 3. sebelum mengutarakan cerita nabi Musa lebih dahulu al-Qur’an menegaskan, “Kami membacakan kepadamu sebagian dari cerita Musa dan Firaun dengan sebenarnya untuk kau yang beriman”. Dalam Q.S. Ali Imran (3): 44 pada permulaan cerita Maryam disebutkan, itulah berita yang ghaib, yang kami wahyukan kepadamu.
2)      Menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah, dari masa nabi Nuh sampai dengan nabi Muhammad saw; bahwa kaum muslimin semuanya merupakan satu ummat; bahwa Allah yang maha Esa adalah Tuhan bagi senuanya”. (Q.S. Al-Anbiyaa’ (21): 51 – 92 .
3)      Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa. (Q.S. Hud).
4)      Menerangkan dasar yang sama antara agama yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, dengan agama Nabi Ibrahim, secara khusus dengan agama-agama bangsa Israel pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan itu lebih erat daripada hubungan yang umum antara semua agama. Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa.
Ragam Kisah dalam Budaya Arab Jahiliyah
Kebiasaan mengembara membuat orang-orang Arab senang  hidup bebas, tanpa aturan yang mengikat sehingga mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Pada musim paceklik dan musim panas, mereka terbiasa melakukan perampasan sebagai sarana hidup.
Peperangan antar kabilah untuk merebut sumber mata air menjadi tradisi yang kuat, bahkan berlanjut dari generasi ke generasi. Karena itu, mereka membutuhkan keturunan yang banyak terutama anak laki-laki untuk menjaga kehormatan kabilahnya.
Sementara anak perempuan, dalam pandangan mereka dianggap sebagai makhluk inferioritas yang tidak memberikan kontribusi apa pun, maka dengan terpaksa harus dikubur “hidup-hidup”.
Jika malam tiba, mereka mengisinya dengan hiburan malam yang sangat meriah. Sambil meminum minuman keras para penyanyi melantunkan lagu-lagu dengan iringan musik yang iramanya menghentak-hentak dari tetabuhan yang terbuat dari kulit.
Dalam keadaan mabuk jiwa mereka melayang-layang penuh dengan khayalan, kenikmatan, dan keindahan. Dan dengan bermabuk-mabukan itu pula mereka dapat melupakan kesulitan dan kekerasan hidup di tengah padang pasir.[3]
Namun di balik watak dan prilaku keras mereka memiliki jiwa seni yang sangat halus dalam bidang sastra, khususnya syair.
Al-Qur’an, turun dalam  situasi di mana bahasa dan sastra Arab (Jahiliyah)  mencapai puncak  kejayaan. Al-Qur’an tampil dengan berbahasa Arab, agar dapat dipahami oleh manusia pada waktu itu. Sebagaimana firman Allah: [4] “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti” (Q.S. Yusuf: 2)
Para penyair ketika itu memiliki kedudukan yang sangat terhormat pada setiap kabilah, karena mereka dianggap sebagai penjaga martabat serta kehormatan kabilahnya. Dengan begitu mereka disanjung-sanjung setinggi langit oleh kabilahnya.[5]
Perang pena antara penyair antar kabilah, telah membawa mereka kepada sebuah kompetisi syair yang di selenggarakan di suatu pasar yang disebut Ukazh. Dari perang pena yang terjadi di Ukazh, lahirlah karya-karya sastra yang lebih dikenal dengan sebutan “mu’allaqat”. Disebut mu’allaqat, karena syair yang terpilih menjadi yang terbaik – konon katanya – akan digantungkan di dinding ka’bah dan ditulis dengan tinta mas.[6]
  Ungkapan kisah dalam Al-Qur’an
Dalam mengemukakan kisah, Al-Qur’an tidak segan untuk menceritakan kelemahan manusia. Namun, hal tersebut digambarkan sebagaimana adanya, tanpa menonjolkan segi-segi yang dapat mengundang rangsangan. Kisah tersebut biasanya diakhiri dengan menekankan akibat dari kelemahan diri seseorang yang digambarkannya, pada saat kesadaran manusia dan kemenangannya mengatasi kelemahan itu.[7] Sebagai contoh, kisah Qarun yang diungkapkan dalam Surat Al-Qashash: 78-81:
Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku beri (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan kemegahannya. Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata, “Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Tetapi orang-orang yang dianugrahi ilmu berkata,: Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar. (Al-Qashash: 78-81)[8]
Demikian pula kisah Nabi Sulaiman, ketika terpengaruh oleh keindahan kuda-kudanya. Sebagaimana yang dikisahkan dalam Surat Shad 30-35:
Dan kepada Dawud Kami karuniakan (anak bernama) Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhannya). (ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore. Maka ia berkata: “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan”. “Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku”. Lalu  ia potong kaki dan leher kuda itu. Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat. Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugrahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”(Shad: 30-35)
Pada hakikatnya masih banyak kisah-kisah yang termaktub didalam al-Qur’an namun ungkapan kisah yang banyak terdapat dalam Al-Qur’an adalah surat al-Qashash, al-Anbiya, Yusuf.
Manna’ Al-Qathan, membagi qashas Al-Quran dalam tiga bagian, yaitu:
a. Kisah para nabi terdahulu
Bagian ini berisikan ajakan para nabi kepada kaumnya;mukjizat-mukjizat dari Allah yang memperkuat dakwah  mereka, sikap orang-orang yang memusuhinya, serta tahapan-tahapan dakwah perkembangannya, dan akibat yang menimpa orang beriman dan orang yang mendustakan para nabi. Contohnya:
·                     Kisah Nabi Adam (QS.Al-Baqarah : 30-39. Al-Araf : 11 dan lainnya);
·                     Kisah Nabi Nuh (QS.Hud : 25-49);
·                     Kisah Nabi Hud (QS. Al-A’Raf: 65, 72, 50, 58);
·                     Kisah Nabi Idris (QS.Maryam: 56-57, Al-Anbiya: 85-86);
·                     Kisah Nabi Yunus (QS.Yunus: 98, Al-An’am: 86-87);
·                     Kisah Nabi Luth (QS.Hud: 69-83);
·                     Kisah Nabi Salih (QS.Al-A’Raf: 85-93);
·                     Kisah Nabi Musa (QS.Al-Baqarah: 49, 61, Al-A’raf: 103-157) dan lainnya;
·                     Kisah Nabi Harun (QS.An-Nisa: 163);
·                     Kisah Nabi Daud (QS.Saba: 10, Al-Anbiya: 78);
·                     Kisah Nabi Sulaiman (QS.An-Naml : 15, 44, Saba: 12-14);
·                     Kisah Nabi Ayub (QS. Al-An ‘am: 34, Al-Anbiya: 83-84);
·                     Kisah Nabi Ilyas (QS.Al-An’am: 85);
·                     Kisah Nabi Ilyasa (QS.Shad: 48);
·                     Kisah Nabi Ibrahim (QS.Al-Baqarah: 124, 132, Al-An’am: 74-83);
·                     Kisah Nabi Ismail (QS.Al-An’am: 86-87);
·                     Kisah Nabi Ishaq (QS.Al-Baqarah: 133-136);
·                     Kisah Nabi Ya’qub (QS.Al-Baqarah: 132-140);
·                     Kisah Nabi Yusuf (QS.Yusuf: 3-102);
·                     Kisah Nabi Yahya (QS.Al-An’am: 85);
·                     Kisah Nabi Zakaria (QS.Maryam: 2-15);
·                     Kisah Nabi Isa (QS.Al-Maidah: 110-120);
·                     Kisah Nabi Muhammad (QS.At-Takwir: 22-24, Al-Furqan: 4, Abasa: 1-10, At-Taubah: 43 -57 dan lainnya.
b. Kisah yang berhubungan dengan kejadian pada masa lalu dan  orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya
·                     Kisah tentang Luqman (QS.Luqman: 12-13);
·                     Kisah tantang Dzul Qarnain (QS. Al-Kahfi: 83-98);
·                     Kisah tentang Ashabul Kahfi (QS.Al-Kahfi: 9-26);
·                     Kisah tentang thalut dan jalut (QS.Al-Baqarah: 246-251);
·                     Kisah tentang Yajuj Ma’fuz (QS.Al-Anbiya: 95-97);
·                     Kisah tentang bangsa Romawi (QS.Ar-Rum: 2-4).
c Kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah
·                     Kisah tentang Ababil (QS.Al-Fil: 1-5);
·                     Kisah tentang hijrahnya Nabi SAW (QS.Muhammad: 13);
·                     Kisah tentang perang Badar dan Uhud (QS. Ali Imran);
·                     Kisah tentang perang hunain dan At-Tabuk (QS. Taubah).
Kisah dalam Al-Qur’an bukanlah suatu gubahan yang hanya bernilai sastra saja akan tetapi kisah dalam Al-Qur’an merupakan salah satu media untuk mewujudkan tujuan aslinya. Oleh karena itu kisah yang ada didalam Al-Qur’an bersifat hakiki sedangkan kisah yang dibuat manusia bersifat khayali. Pada masa sekarang telah banyak timbul penjabaran kisah-kisah yang tidak dijelaskan di dalam Al-Quran. Kisah-kisah ini berasal dari sejarah. Kisah-kisah dalam al-Qur’an hanya dikemukakan secara singkat dengan menitik beratkan pada aspek-aspek nasehat dan ibrahnya, tidak mengungkapkan secara detil, seperti nama-nama negeri dan nama-nama pribadi. Adapun Taurat dan Injil mengemukakannya secara panjang lebar dan detil.
Ketika Ahli Kitab masuk Islam, mereka masih membawa pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita dan kisah keagamaan. Dan di saat membaca kisah-kisah dalam Al-Qur’an, terkadang mereka memaparkan kisah itu seperti yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Olehkarena itu para sahabat cukup berhati-hati terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan itu. Berita-berita yang diceritakan Ahli Kitab yang masuk Islam itulah yang dinamakan Isra’iliyat.
Tujuan Qashash Al-Qur’an
Adanya kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti yang kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an sangat sesuai dengan kondisi mereka. Karena sejak kecil sampai dewasa dan tua bangka tak ada orang yang tak suka pada kisah, apalagi bila kisah itu mempunyai tujuan ganda, yakni sebagai pelajaran dan pendidikan, juga berfungsi sebagai hiburan. al-Qur’an sebagai kitab hidayah mencakup kedua aspek itu; bahkan disamping tujuan yang mulia itu, kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam bahasa yang sangat indah dan menarik, sehingga tidak ada orang yang bosan mendengar dan membacanya. Sejak dulu sampai sekarang telah berlalu lebih dari empat belas abad, kisah-kisah al-Qur’an yang diungkapkan dalam bahasa Arab itu masih up to date, mendapat tempat dan hidup di hati ummat; padahal bahasa-bahasa lain sudah banyak yang masuk museum, dan tidak terpakai lagi dalam berkomunikasi seperti bahasa Ibrani, Latin, dan lain-lain.     
Kisah-kisah dalam al-Qur’an secara umum bertujuan kebenaran dan semata-mata tujuan keagamaan. Jika dilihat dari keseluruhan kisah yang ada, maka tujuan-tujuan tersebut dirinci sebagai berikut:
1)      Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan. Dalam al-Qur’an tujuan ini diterangkan dengan jelas di antaranya dalam Q.S. Yusuf (12): 2-3 dan Q.S. Al- Qashash (28): 3. sebelum mengutarakan cerita nabi Musa lebih dahulu al-Qur’an menegaskan, “Kami membacakan kepadamu sebagian dari cerita Musa dan Firaun dengan sebenarnya untuk kau yang beriman”. Dalam Q.S. Ali Imran (3): 44 pada permulaan cerita Maryam disebutkan, itulah berita yang ghaib, yang kami wahyukan kepadamu.
2)      Menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah, dari masa nabi Nuh sampai dengan nabi Muhammad saw; bahwa kaum muslimin semuanya merupakan satu ummat; bahwa Allah yang maha Esa adalah Tuhan bagi senuanya”. (Q.S. Al-Anbiyaa’ (21): 51 – 92 .
3)      Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa. (Q.S. Hud).
4)      Menerangkan dasar yang sama antara agama yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, dengan agama Nabi Ibrahim, secara khusus dengan agama-agama bangsa Israel pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan itu lebih erat daripada hubungan yang umum antara semua agama. Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa.
Faedah Mempelajari Qashash Al-Qur’an
Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para Nabi: “Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian Aku”. (Al-Anbiya (21): 25).
Meneguhkan hati Rasulullah dan hati ummat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebathilan dan para pembelanya.
Membenarkan para Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak peninggalannya.
Menampakkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.
Menyibak kebohongan para ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan dan menentang mereka sebelum kitab itu diubahnya. As-Syeikh Muhammad Abduh (Pelopor visi dan paradigma rasional (kompromi antara Islam dengan peradaban barat) berpendapat bahwa tidak perlu memadukan antara cerita-cerita yang ada dalam Al-Qur’an dengan isi kitab bani Israil atau kitab-kitab sejarah kuno. Menurutnya Al-Qur’an bukanlah catatan sejarah, juga bukan kisah/dongeng akan tetapi merupakan petunjuk dan peringatan sehingga hal-hal yang diungkapkan dalam Al-Qur’an diharapkan menjadi pelajaran dan menjelaskan sunnah-sunnah kemasyarakatan.
Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa. Firman Allah: Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf (12): 111).
Melihat manfaat yang ada, tentunya kita dapat memahami bahwasanya kisah yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat memberikan pemahaman kepada kita tentang arti pentingnya pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an sebagai pelajaran.
Hikmah Pengulangan Qashash Al-Qur’an
Menurut Manna Khalil al-Qattan, bahwa pwnyajian kisah-kisah dalam al-qur’an begitu rupa mengandung beberapa hikmah, yaitu:
Menjelaskan ke-balagah-an al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Sebab di antara keistimewaan balagah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah kedalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan disaat membacanya ditempat lain.
Menunjukkan kehebatan mukjizat al-Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentukpun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah.
Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena penulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian.
Perbedaan tujuan yang karenanya kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan di suatu tempat karena hanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna lainnya dikemukakan di tempat lain sesuai dengan tuntutan keadaan.
Rahasia nama gelar, tokoh dalam kisah
Dalam  mengungkapkan kisah peristiwa-peristiwa yang sudah dan akan terjadi, Al-Qur’an menyebutkan beberapa pelaku atau tokoh dari suatu peristiwa. Terkadang pelaku peristiwa tidak disebutkan  secara langsung dalam Al-Qur’an, tetapi hanya secara maknawi, terutama kisah-kisah yang pelakunya secara kolektif, maka hanya disebutkan secara simbolis, seperti: kaum ‘Ad, kaum Luth, Bani Israil, kaum Quraisy dan lain sebagainya.
Tidak jarang juga pelaku kisah dalam Al-Quran disebutkan namanya langsung, contohnya:
a.  Nama Nabi, Seperti:
1.                  Adam (QS.Al-Baqarah (ayat 31, 33, 34, 35, 37);
2.                  Nuh (QS.Hud ayat 25, 32, 42, 45, 46, 48, 89);
3.                  Idris (QS. Maryam  ayat 57 dan QS.Al-Anbiya ayat 85);
4.                  Ibrahim (QS.Hud ayat 69, 74, 75, 76);
5.                  Isma’il (QS.Al-Baqarah  ayat 125,127,133,136,140);
6.                  Ishaq (QS.Al-Baqarah  ayat 132,133,136,140);
b.  Nama Malaikat, seperti:
1.                  Jibril (QS.At-Tahrim ayat 4 dan QS. Al-Baqarah (2) ayat 97, 98);
2.                  Mika’il (QS.Al-Baqarah ayat 98).
c.  Nama Sahabat, seperti Zaid bin Harist (QS.Al-Ahzab ayat 37)
1.                  Nama tokoh terdahulu non-Nabi dan Rasul, seperti:
2.                  Imran (QS.Ali-Imran ayat 33, 35);
3.                  Uzair (QS.Yunus ayat 30); dan
4.                  Tuba’ (QS.Ad-Dukhan ayat 37)
d. Nama Wanita, seperti: Maryam (QS.Ali-Imran ayat 36, 37, 42, 43, 45)
Disamping nama pelaku, Al-Quran juga menuturkan gelar pelaku kisah, seperti Abu Lahab pada Q.S Al-Lahab ayat 1, namanya sendiri adalah Abdul Uzza.[12]
Adapun rahasia dari penggunaan nama gelar dan tokoh dalam kisah adalah:
1)      Kita dapat mencontoh kisah-kisah kehidupan para Nabi, orang-orang yang beriman dan beramal saleh;
2)      Memudahkan kita untuk  mengingat kisah-kisah tersebut;
3)      Memudahkan kita dalam memahami maksud dan tujuan kandungan kisah dalam Al-Qur’an.

Penutup
Secara etimologi (bahasa), Qashash adalah urusan (al-amr), berita (khabar), dan keadaan (hal). Dalam bahasa Indonesia, kata itu diterjemahkan dengan kisah yang berarti kejadian.
Sedangkan secara terminologi (istilah) Qashash al-Quran adalah kisah-kisah dalam Al-Qur’an tentang para Nabi dan Rasul mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
Banyak kisah-kisah yang diungkapkan di dalam Al-Qur’an seperti kisah  Qarun, Nabi Sulaiman dan kisah-kisah yang lain.
Faedah qashash dalam Al-Qur’an adalah:
1.      Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah agama Allah dan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh setiap nabi.
2.      Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnya pertolongan Allah dan hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya.
3.      Membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka;
4.      Memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu
5.      Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk.
6.      Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang tertanam dalam jiwa.
Menurut Manna’ Al-Qaththan, rahasia pengulangan kisah dalam Al-Qur’an adalah:
1)      Menjelaskan ke-balaghah-an Al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi;
2)      Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Quran;
3)      Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih berkesan dan melekat dalam jiwa;
4)      Setiap kisah memiliki maksud dan tujuan berbeda.
Adapun rahasia yang dapat diambil dari penggunaan nama gelar dan tokoh dalam kisah adalah:
1.      Kita dapat mencontoh kisah-kisah kehidupan para Nabi, orang-orang yang beriman dan beramal saleh;
2.      Memudahkan kita untuk  mengingat kisah-kisah tersebut;
3.      Memudahkan kita dalam memahami maksud dan tujuan kandungan kisah dalam Al-Qur’an.






[1]

No comments: