BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Membicarakan
tentang Islam, lebih khususnya tasawuf Islam tidak akan lengkap jika tidak
mencantumkan nama Al-Ghozali. Beliau adalah pribadi yang unik, karena memiliki
berbagai kemampuan yang mumpuni diberbagai bidang pengetahuan. Karenanya
tidaklah mengherankan bila banyak sebutan yang dialamatkan terhadapnya. Mulai
dari teolog, fuqoha, filusuf, sampai sebutan sufi khusunya yang akan banyak
dibahas dalam makalah ini. Banyaknya sebutan yang dialamatkan terhadap beliau
mencerminkan wawasan keilmuannya yang begitu luas. Kita bisa melihat khasanah
keilmuan Al-Ghozali dari karya-karyanya yang sangat banyak yang masih terjaga
dan tersimpan sampai sekarang.
Banyak
orang dibuat terpukau oleh karya-karya peninggalan Al-Ghozali. Karya-karyanya
tersebut pun menjadi bahan penelitian yang cukup menarik bagi kalangan
akademisi, khususnya kalangan umat Islam. Pembahasan Al-Ghozali kian menarik
manakala para peneliti terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang pro
terhadap Al-Ghozali dan menganggapnya sebagai tokoh muslim yang begitu besar
dan sempurna. Bagi kelompok ini, Al-Ghozali diagung-agungkan layaknya seorang
imam yang ma’sum. Sehingga apapun yang dikatakan Al-Ghozali Pasti Benar. Sikap
dan dukungan yang seperti ini akhirnya menimbulkan fanatisme yang berlebihan,
sehingga disadari atau tidak mereka terbawa kepada arus ekstri dalam satu sisi.
Kedua, kelompok yang kontra terhadap Al-Ghozali. Kelompok ini menganggap
Al-Ghozali sebagai penyebab kemunduran intelektual di dunia Islam, terutama
dikalangan sunni. Kelompok ini juga memandang al-Ghozali dengan skeptisisme.
Apa yang diutarakan Al-Ghozali itu usang, tidak membawa kemajuan dan
pandangan-pandangan negatif lainya. Sikap ini juga menimbulkan ekstrimisme di
sisi lainya. Ketiga, kelompok ini memandang Al-Ghozali secara obyektif, tidak
skeptis dan berupaya memahami Al-Ghozali sesuai dengan fakta dan data yang ada.
Dalam
makalah ini, penulis akan membahas Al-Ghozali dari sudut pandang kelompok
ketiga. Meskipun, mungkin dalam beberapa hal, ada sikap bernada pembelaan dari
penulis yang oleh pembaca dikategorikan kepada sikap yang berlebihan
terhadapnya. Kalaupun ada, itu penulis lakukan berdasarkan fakta dan data yang
dimiliki penulis.
Secara
garis besar, dimulai dari pembahasan biografi Al-Ghozali. Kemudian penulis akan
mencoba menganalisa berbagai hal yang menyangkut tentang pemikiran,
tuduhan-tuduhan yang dialamatkan terhadap belaiau, ataupun masalah-masalah lain
yang memang dalam penulisan ini sangat diperlukan untuk dibahas.
Penulis
menyadari, makalah yang sederhana ini banyak terdapat kekurangan dan kesalahan.
Karenanya, penulis tidak menutup diri untuk menerima kritik dan masukan yang
sifatnya membangun karena hal itu akan sanagat berguna bagi kami selaku
penulis. Mudah-mudahan makalah sederhana ini bisa memberikan manfaat dan
wawasan bagi penulis khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Sejarah dan Biografi al
– Ghazali.
2.
Transisi filsafat al –
Ghazali menuju tasawuf.
3.
Ciri-ciri dan
Karakteristik Tasawuf al-Ghozali
4.
Dampak tasawuf al –
Ghazali bagi dirinya, umat islam dan bagi pendidikan di era modern ini.
C.
Tujuan Penulisan
Makalah
1.
Dapat menjelaskan
tentang sejarah dan biografi al – Ghazali.
2.
Dapat menjelaskan sebab transisi filsafat al – Ghazali menuju
tasawuf.
3.
Dapat menyebutkan
ciri-ciri dan karakteristik tasawuf al-Ghozali.
4.
Dapat menjelaskan
dampak tasawuf bagi diri al – ghazali, orang lain dan bagi pendidikan di era
modern ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Dan Biografi al
– Ghazali
Al – Ghazali lahir pada tahun
450H/1058 di Ghazhalah, suatu kota yang terletak di dekat daerah Thusi, wilayah
Khurasan, Iran. Bertepatan dengan tahun wafatnya al – Muwardi seorang pengacara
(Grand Judge ) di Otsawa. Nama al – Ghazali kadang ditulis dengan Gahazzali
(dengan dua z ). Kata ini berasal dari ghazzal
yang berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah al – Ghazali adalah tukang pintal benang wol.
Sedangkan kata al – ghazali (dengan satu z) diambil dari ghazalah, nama kampung dimana dia lahir.
Pada usia muda al – ghazali sudah
belajar fiqih di Thus dan melanjutkan study nya di Jurjan dibawah bimbingan abu
Nasr al – Isma’ili, setelah itu al – Ghazali kembali ke Thus dan kemudian
melanjutkan belajar di naisabur. Waktu di naisabur, berdiamlah seorang ulama
besar, yang bernama al – Din al – Juwaini yang dijuluki Imam al- Haramain yang memimpin perguruan al – Nizamiyah. Di bawah
pimpinan al – Juwaini, al – Ghazali mwnwkuni ilmu fiqih, mantiqdan ilmu kalam
hingga al – Juwaini wafat tahun 478 H/1085 M.
Setelah imam al – Haramain wafat,
al – Ghazali pindah ke Mu’askar dan menetap disana kurang lebih lima tahun.
Pada saat itu ia sering menghadiri pertemuan – pertemuan ilmiah yang diadakan
di istana perdana menteri Nizam al – Mulk. Melalui pertemuan- pertemuan ilmiah
inilah al – Ghazali mulai muncul sebagai ulama yang menonjol. Pada tahun 484 H/
1091 M ia diangkat sebagai guru besar di Universitas nizamiyah di Baghdad,
Irak.[1]
Periode ini menandai suatu tahap yang menentukan dalam hidupnya, sebab
universitas memberikan perkembangan yang luar biasa bagi pengetahuannya di
bidang filsafat. Dua karya yang ditulisnya pada masa itu adalah Maqasid al – Falasifah ( Maksud – maksud
Para Filosof ) dan Tahafut al – Falasifah
( Keracunan Para Filosof ).
Sepanjang hidupnya ternyata al –
Ghazali tidak mengalami ketenangan karena semua jalan yang dia tempuh untuk
mencari kebenaran Tuhan ternyata tidak ada yang bisa memuaskan dirinya.
Puncaknya pada saat karirnya tengah menanjak, al – Ghazali mengalami
kegelisahan intelektual karena merasa gagal dalam memberi pengalaman religius,
serta meragukan terhadap kebenaran yang dicapai oleh akal dan panca indera.
Oleh karena itu, apabila kita mengkaji seluruh karya – karya beliau maka akan
banyak kita temukan inkonsistensi pemikiran al – Ghazali. Karena banyak
kontadiksi dalam karya – karya nya maka sukar menentukan pendirian al – Ghazali
yang sebenarnya.
Akhirnya al – Ghazali menhalami
sebuah krisis, yakni keraguan yang mendalam yang terjadi pada gejala – gejala
fisiknya, tapi pada dasarnya bersifat religius. Menurut hematnya, pada saat ini
tugas manusia yang paling penting adalah menghindari neraka demi memperoleh
surga. Namun apa yang dirasakan waktu itu dia merasa bahwa hidupnya saat itu
terlalu memikirkan duniawi saja. Setelah melalui perjuangan batin yang sangat
hebat maka al – Ghazali memutuskan untuk meninggalkan baghdad untuk menjalani
kehidupan zahid yang berkelana. Pada tahun 1095 ia melepaskan jabatannya di
universitas dan meninggalkan keluarganya untuk mencari kepastian batin, yang
merupakan jaminan bagi kebenarannya. Setelah betrhasil mengatasi krisinya dan menghilangkan keraguannya, al – Ghazali
kemudian kembali ke negerinya. Dan mulailah ia menulis karya – karya yang
bernada sufistik.
Dan pada sub bab selanjutnya akan
dijelaskan lebih rinci bagaimana terjadinya transisi filosof al – Ghazali ke
pemikiran tasawuf atau sufistik.
B. Transisi Filsafat Al-Ghozali Menuju Tasawuf
Dalam sejarah peradaban
islam, filsafat pernah diharamkan oleh para Ulama’. Alasannya, karena
mengandung konsep-konsep asing yang bertentangan dengan islam. Tetapi lambat
laun pandangan ini melunak, Ibnu Taimiyah yang pada awalnya sama sekali menolak
filsafat akhirnya juga bisa menerimanya, dengan syarat, harus berdasarkan pada
akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh Nabi. Pada dasarnya Al-Ghazal
tidak menolak filsafat, tetapi beliau mengkritik cara pandang filosof yang
terlalu lepas dan tanpa batas dalam usaha mereka mensifati Tuhan dan menemukan
hakikat Tuhan.
Setiap filosof muslim
memiliki corak yang beragam dalam berfilsafat. Meskipun mereka dalam corak cara
pandang yang beragam, mereka tetap berpijak pada kebenaran yang sama, yaitu Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Dan Al-Ghazali sendiri menganut corak religius-ortodok (berdasarkan
agama yang keras dan tulen) yang bermuara pada sufistik. Dari sinilah awal mula perubahan arah Imam Al-Ghazali dari seorang
filosof menjadi seorang mutashowwif[2].
Berbagai pendapat
dikemukakan untuk menjawab pertanyaan apa penyebab atau faktor pendorong Al-Ghazali
berbelok arah dari seorang filosof menjadi seorang mutashowwif yang mana
keduanya sangatlah bertolak belakang. Jika filosof adalah seorang yang selalu
menyimpan keraguan dan ketidak puasan akan eksistensi atau wujud Tuhan,
kekekalan Tuhan bahkan kemahakuasaan Tuhan, sedangkan mutasowwif adalah seorang
yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan[3],
mensucikannya dari segala hal yang besifat keduniawian, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan masyarakat,
dan selalu memenuhi hati dan hari-harinya dengan segala hal yang bertujuan
untuk membuat dirinya semakin dekat dan arif dengan Tuhan.
Dari keterangan di atas
dapat disimpulkan bahwa dalam diri setiap filolsof sudah tertanam satu sifat
atau rasa ragu terhadap sesuatu, tak terkecuali Imam Al-Ghazali kektika beliau
masih menjadi seorang filosof dan belum menjadi seorang mutashowwif. Keraguan
ini tidak hanya berputar dalam aspek proses pencarian Tuhan, tapi dalam segala
hal. Bahkan dalam hal-hal kecil pun, seorang filosof cenderung selalu menyimpan
rasa ragu. Perlu diingat bahwa tidak semua filosof memiliki sifat ragu, akan
tetapi kebanyakan, atau sebagian besar dari mereka memiliki sifat seperti itu.
Sehinnga tidak jarang dari mereka justru melenceng dari tujuan, yang semula
bertujuan mengenal dan mendekatkan diri dengan Tuhan (Allah) justru sebaliknya,
mereka semakin jauh dari Tuhan (Allah).
Dari pandangan atau
aliran filsfat beliau yang mengacu kepada filsafat religius-ortodok, akhirnya
beliau menambatkan bahtera penelusuran dan pencarian Tuhannya pada aliran
tasawuf yang ternyata membuatnya lebih puas dan bisa menerima ke-eksistensian
dan kemahakuaasaan Tuhan (Allah)
Namun tidak cukup hanya
disitu saja, ternyata disamping perpindahan arah dan cara fikir, beliau juga
mengkritik para filolsof yang tidak henti-hentinya dan tidak pernah lelah dalam
mencari Tuhan, yang sebenarnya Tuhan selalu ada kapan pun dan dimana pun mereka
berada, melalui kitab karangan beliau “Tahafutu al-Falasifah” yang kemudian
dikritik balik oleh Imam Ibnu Rusd dengan kitabnya “Tahafutu at-Tahafut” yang
disebabkan perbedaan pandangan beliau berdua mengenai filsafat. Lebih dari itu,
beliau juga menentang adanya filsafat karena itu semua mengecilkan peran Tuhan
dan dianggap merendahkan supremsi al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan islam
tertinggi.
Tidak bisa kita pungkiri kehebatan dan kedudukan beliau. Itu terbukti dari pengikut dan pengagum beliau baik dari kalangan pengagum filsafat hingga para penganut tasawuf atau mutashowif. Dalam ranah filsafat, dari dulu hingga sekarang yang didoktrinkan kepada otak dan pikiran kita mengenai filsafat islam dan berbagai macam jenis dan alirannya semuanya mengacu atau condong terhadap Imam Ghazali, meskipun beliau sudah tidak menjadi seorang filosof lagi akan tetapi beliau adalah seorang mutasowwif. Dalam dunia tasawuf beliau juga sangat dikagumi. Karya beliau yang paling fenomenal adalah kitab “Ihya’ Ulumiddin”, sebuah kitab tasawuf yang sangat terkenal dan tidak kalah dikagumi dibanding pengarangnya. Dikatakan demikian karena pesan-pesan, wejangan dan juga pelajaran-pelajaran tentang bagaimana kita harus bersikap, berakhlaq dan berperilaku, baik terhadap sesama manusia, terhadap Allah dan juga terhadap semua yang ada di dunia ini, yang terlihat dan yang ghoib, yang hidup dan yang mati, yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memiliki nilai keluhuran yang sangat tinggi, sehingga berbagai pujian dilontarkan kepada kitab Ihya’ Ulumiddin dan juga pengarangnya.
Tidak bisa kita pungkiri kehebatan dan kedudukan beliau. Itu terbukti dari pengikut dan pengagum beliau baik dari kalangan pengagum filsafat hingga para penganut tasawuf atau mutashowif. Dalam ranah filsafat, dari dulu hingga sekarang yang didoktrinkan kepada otak dan pikiran kita mengenai filsafat islam dan berbagai macam jenis dan alirannya semuanya mengacu atau condong terhadap Imam Ghazali, meskipun beliau sudah tidak menjadi seorang filosof lagi akan tetapi beliau adalah seorang mutasowwif. Dalam dunia tasawuf beliau juga sangat dikagumi. Karya beliau yang paling fenomenal adalah kitab “Ihya’ Ulumiddin”, sebuah kitab tasawuf yang sangat terkenal dan tidak kalah dikagumi dibanding pengarangnya. Dikatakan demikian karena pesan-pesan, wejangan dan juga pelajaran-pelajaran tentang bagaimana kita harus bersikap, berakhlaq dan berperilaku, baik terhadap sesama manusia, terhadap Allah dan juga terhadap semua yang ada di dunia ini, yang terlihat dan yang ghoib, yang hidup dan yang mati, yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memiliki nilai keluhuran yang sangat tinggi, sehingga berbagai pujian dilontarkan kepada kitab Ihya’ Ulumiddin dan juga pengarangnya.
Setelah Al-Ghozali
bertransisi dari seorang filosof menuju seorang mutashowif, ada banyak pelajaran
berharga yang bisa kita ambil untuk dijadikan sebagai bahan renungan dalam
menjalani hidup dan mendekatkan diri kepada Sang Kholik. Pelajaran itu
diantaranya adalah ketika Al-Ghozali memberikan beberapa pertanyaan kepada
murid-muridnya, dan pertanyaan-pertanyaan itu adalah; yang pertama, “Apa
yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab “orang tua, guru, kawan, dan
sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang
paling dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT
bahwa, “setiap yang bernyawa pasti akan mati”.[4]
Pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab “negara Cina, bulan,
matahari dan bintang-bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua
jawaban yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. Walau
dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu
kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan
yang sesuai dengan ajaran Agama.
Pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?” Murid-muridnya menjawah “gunung, bumi dan
matahari”. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar
dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU”[5]. Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita,
jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat, “Apa yang paling berat di dunia ini?” Ada yang menjawab “besi dan gajah”. Semua jawaban adalah
benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH”[6].
Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah
SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi
manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak
dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.
Yang kelima, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”. Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan
daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di
dunia ini adalah meninggalkan Shalat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan shalat,
gara-gara aktivitas kita meninggalkan shalat.
Dan pertanyaan keenam, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”.
Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA”.
Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan
saudaranya sendiri.
Dari pesan-pesan beliau
yang tergambarkan dalam pertanyaan-pertanyan diatas merupakan pelajaran yang
sangat berharga bagi kita dan perlu kita renungkan dan juga diamalkan. Karena
itu semua merupakan kunci dan pegangan untuk hidup bahagia, tentram dan tenang
di dunia dan akhirat.
Itu lah sekelumit
pengalaman sepiritual dari seorang Imam Al-Ghozali, yang semula beliau adalah
seorang filosof kemudian bertransisi atau berpindah haluan menjadi seorang
mutashowwuf.
C. Ciri-ciri dan
Karakteristik Tasawuf al-Ghozali
Tentang Transisi Filsafat Al-Ghozali Menuju Tasawuf bisa
menjadi bukti bagi kita bahwa seorang Imam Al-Ghazali bukanlah orang yang hanya
sekedar dalam ke-tashowwufan. Namun terlepas dari itu, karena beliau pada
awalnya adalah seorang filosof yang juga sangat andal, pemikiran beliau tentang
perkara-perkara ilahiyah, dalam ilmu
tasawuf juga masih sedikit berbau rasio. Hal ini bisa dibuktikan dalam salah
satu bab pada kitab Ihya’ Ulumiddin karangan beliau, yang membahas tentang ruh.
Beliau menjelaskannya dengan panjang lebar. Mulai bagaimana hakikat ruh,
seperti apa ruh dan bagaimana eksistensi ruh dalam jasad atau tubuh manusia.
Beliau mengumpamakan ruh seperti sebuah lampu yang terdiri dari sumbu dan
minyak. Jika sumbu atau minyak itu ada yang kurang, maka nyala apinya juga akan
berkurang, bahkan mati. Seperti itu juga ruh. Ruh terdiri dari beberapa unsur,
jika salah satu dari unsur itu berkurang, maka berkurang juga lah daya ruh
tersebut, bahkan ruh itu bisa mati.
Begitulah penjelasan beliau tentang ruh, padahal di dalam Al-Qur’an
Allah SWT. Berfirman dalam Surat Al-Isro’:85 yang artinya sbb; Katakanlah
(wahai Muhammad): “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit”. Dari ayat Al-Qur’an tersebut sudah jelas
bahwasannya yang berhak untuk menjelaskan bagaimana ruh itu dan sebagainya
hanyalah Allah semata. Tetapi disini Imam Al-Ghazali berani menjelaskanya
dengan sedemikian gamblangnya yang mungkin semua itu adalah menurut pemikiran
rasio beliau. Dan ketika ditanya mengapa beliau berani menjelaskan hal itu?
beliau menjawabnya dengan lugas dan sangat sesuai. Yang beliau jelaskan adalah
ruh dalam ranah batas pengetahuan seorang dokter, tidak lebih dari itu. Yang
mana seorang dokter mengetahui apa saja yang tidak baik dan berbahaya bagi
tubuh manusia yang juga berakibat terhadap ruh. Dan dasar yang dipakai adalah
tubuh, bukan ruh itu sendiri. Sehingga jika yang bermasalah adalah ruh-nya,
maka seorang dokter angkat tangan, itu bukan lagi kemampuannya, tapi Allah lah
yang berhak dalam masalah itu.
Penjelasan beliau ini
sangat rasional sekali. Dan jika direnungkan memang benar. Yang beliau jelaskan
masih dalam batas ilmu kesehatan. Sedangkan dalam hal lain, seperti apa yang
dipastikan oleh Allah terhadap ruh pada zaman azali, apa yang terjadi pada ruh
itu kelak pada hari akhir dan lain-lain, beliau tidak menjelaskannya, karena
itu adalah hak Allah Azzawajalla sebagai Sang Kholik.
D. Dampak Dari Transisi Al-Ghozali
Jika melihat sejarah, bahwa
Imam Al-Ghozali adalah seorang tokoh ulama sekaligus ilmuwan yang fenomenal
pada zamannya bahkan hingga sampai saat ini. Yang mana pemikiran dan
karya-karya beliau yang begitu memukau dan mempengaruhi pola fikir dan
pandangan banyak orang khusunya umat islam. Maka tidaklah mengherankan jika setiap
tindak-tanduk beliau selalu jadi perhatian umat, terlebih dengan keterkaitan
keputusan beliau yang berpindah haluan dari seorang filosof menjadi seorang
mutashowwif. Diinginkan atau tidak, keputusan ini pastilah berdampak, baik itu
terhadap diri pribadi Al-Ghozali, umat, dan ilmu pengetahuan.
Dari ulasan-ulasan
sebelumnya diatas tentu dapat kita ambil gambaran tentang dampak dari keputusan
Al-Ghozali, yang pertama terhadap dirinya pribadi, setelah beliau berpindah
haluan menjadi seorang mutashowwif banyak sekali perubahan yang beliau rasakan
terutama dalam kehidupan sepiritual. Beliau merasakan kepuasan dan ketenangan
dalam menerima keberadaan, ke-eksistensian, dan kemahakuasaan Tuhan. Yang mana
hal ini sangat bertolak belakang ketika beliau masih menjadi seorang filosof
yang selalu mencari dan mendekatkan diri terhadap Tuhan dengan cara-cara
filosof yang disertai rasa keragu-raguan.
Kemudian dampak selanjutnya
dari keputusan Al-Ghozali adalah terhadap umat. Yang mana sebelumnya beliau
dikenal sebagai seorang filosof dan tidak sedikit pengagum dan pengikut beliau
disaat masih berkecimpung di dunia filosof. Dari dulu hingga sekarang yang
didoktrinkan kepada otak dan pikiran kita mengenai filsafat islam dan berbagai
macam jenis dan alirannya semuanya mengacu atau condong terhadap Imam Ghazali,
meskipun beliau sudah tidak menjadi seorang filosof lagi. Jika kita renungkan
kita sangat beruntung kalau saja seorang Imam Ghazali tetap berkecimpung dalam
dunia filsafat. Karena sosok seperti beliaulah yang kita butuhkan sebagai
anutan dalam filasaft agar kita tidak sampai terjerembap ke jalan yang tidak
seharusnya kita lalui, jalan yang seringkali dijadikan titik akhir pencarian
seorang filosof yang sudah menemukan jalan buntu, yaitu jalan kesesatan dan
semakin jauh dari Tuhan. Tetapi dilain sisi yaitu dunia tasawuf, beliau sangat
dikagumi dan diikuti oleh para mutashowwif.
Yang selanjutnya berdampak
pada ilmu pengetahuan, dari transisi atau perpindahan sudut pandang Al-Ghozali
tersebut, dalam dunia ilmu pengetahuan, Al-Ghozali banyak sekali memberikan
kontribusi, terlebih ketika beliau benar-benar memutuskan berhijrah dari
seorang filosof menjadi seorang mutashowwif. Ilmu pengetahuan sangat
diuntungkan dengan keputusan beliau itu, karena dengan begitu banyak karya-karya
beliau yang secara otomatis itu menambah kaya materi-materi ilmu pengetahuan
yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan penelitian dan bahan diskusi di dunia
akademik.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uluasan-ulasan dan
pembahasan di atas, dimulai dari Imam Al-Ghazali sebagai seorang filosof, Imam
Al-Ghazali sebagai seorang mutashowwif dan Imam Al-Ghazali sebagai seorang
mutashowwif yang filosofis, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pencapaian
suatu tingkatan yang memang benar-benar tinggi atau mulia di sisi Allah
bukanlah suatu perkara yang mudah, itu semua harus melalui proses yang sangat
panjang dan tidak setiap orang bisa melakukannya. Hanya orang-orang tertentu
dan terpilihlah yang bisa mendapatkan kesempatan itu. Kemudian dapat disimpulkan
pula bahwasanya setiap keputusan yang akan kita ambil haruslah difikirkan
secara matang-matang agar tidak menyesal dengan apa yang telah kita putuskan.
Karena setiap keputusan pastilah akan berpengaruh terhadap kehidupan kita saat
ini dan yang akan datang kemudian. Baik itu bagi diri kita maupun bagi
kehidupan sekitar kita, sebab kita adalah makhluk sosial. Artinya kita tidak
bisa hidup secara individual melainkan kita butuh orang lain.
Diakhir tulisan makalah
ini penulis menyisipkan pesan nasehat dari seorang tokoh sufi yang dapat kita
jadikan sebagai bahan renungan, beliau adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jaelaniy.
Beliau berpesan, “Hati-hatilah ketika melakukan sesuatu, jangan tergesa-gesa,
karena hal itu bisa berakibat keliru, atau sekurang-kurangnyamendekati salah.
Barang siapa bersikap tergesa-gesa, maka ia mengikuti setan. Berbuatlah dengan
sikap berhati-hati tapi pasti, karena dengan cara seperti itu, engkau dapat
berhasil, atau sekurang-kurangnya mendekati keberhasilan.
Dan melakukan sesuatu pertimbangan yang
matang, maka akan dikasihani oleh Allah Yang Maha Pengasih”. Demikian semoga
kita selalu mendapatkan ketenangan hati dalam menjalai hidup dan mendekatkan
diri kepada Alla SWT. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri, Amat.Warna – Warni Teologi Islam. STAIN Pekalongan
Press. Pekalongan: 2008
No comments:
Post a Comment