Tuesday, 10 July 2012

Al-Gazali


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Membicarakan tentang Islam, lebih khususnya tasawuf Islam tidak akan lengkap jika tidak mencantumkan nama Al-Ghozali. Beliau adalah pribadi yang unik, karena memiliki berbagai kemampuan yang mumpuni diberbagai bidang pengetahuan. Karenanya tidaklah mengherankan bila banyak sebutan yang dialamatkan terhadapnya. Mulai dari teolog, fuqoha, filusuf, sampai sebutan sufi khusunya yang akan banyak dibahas dalam makalah ini. Banyaknya sebutan yang dialamatkan terhadap beliau mencerminkan wawasan keilmuannya yang begitu luas. Kita bisa melihat khasanah keilmuan Al-Ghozali dari karya-karyanya yang sangat banyak yang masih terjaga dan tersimpan sampai sekarang.
Banyak orang dibuat terpukau oleh karya-karya peninggalan Al-Ghozali. Karya-karyanya tersebut pun menjadi bahan penelitian yang cukup menarik bagi kalangan akademisi, khususnya kalangan umat Islam. Pembahasan Al-Ghozali kian menarik manakala para peneliti terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang pro terhadap Al-Ghozali dan menganggapnya sebagai tokoh muslim yang begitu besar dan sempurna. Bagi kelompok ini, Al-Ghozali diagung-agungkan layaknya seorang imam yang ma’sum. Sehingga apapun yang dikatakan Al-Ghozali Pasti Benar. Sikap dan dukungan yang seperti ini akhirnya menimbulkan fanatisme yang berlebihan, sehingga disadari atau tidak mereka terbawa kepada arus ekstri dalam satu sisi. Kedua, kelompok yang kontra terhadap Al-Ghozali. Kelompok ini menganggap Al-Ghozali sebagai penyebab kemunduran intelektual di dunia Islam, terutama dikalangan sunni. Kelompok ini juga memandang al-Ghozali dengan skeptisisme. Apa yang diutarakan Al-Ghozali itu usang, tidak membawa kemajuan dan pandangan-pandangan negatif lainya. Sikap ini juga menimbulkan ekstrimisme di sisi lainya. Ketiga, kelompok ini memandang Al-Ghozali secara obyektif, tidak skeptis dan berupaya memahami Al-Ghozali sesuai dengan fakta dan data yang ada.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas Al-Ghozali dari sudut pandang kelompok ketiga. Meskipun, mungkin dalam beberapa hal, ada sikap bernada pembelaan dari penulis yang oleh pembaca dikategorikan kepada sikap yang berlebihan terhadapnya. Kalaupun ada, itu penulis lakukan berdasarkan fakta dan data yang dimiliki penulis.
Secara garis besar, dimulai dari pembahasan biografi Al-Ghozali. Kemudian penulis akan mencoba menganalisa berbagai hal yang menyangkut tentang pemikiran, tuduhan-tuduhan yang dialamatkan terhadap belaiau, ataupun masalah-masalah lain yang memang dalam penulisan ini sangat diperlukan untuk dibahas.
Penulis menyadari, makalah yang sederhana ini banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Karenanya, penulis tidak menutup diri untuk menerima kritik dan masukan yang sifatnya membangun karena hal itu akan sanagat berguna bagi kami selaku penulis. Mudah-mudahan makalah sederhana ini bisa memberikan manfaat dan wawasan bagi penulis khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Sejarah dan Biografi al – Ghazali.
2.      Transisi filsafat al – Ghazali menuju tasawuf.
3.      Ciri-ciri dan Karakteristik Tasawuf al-Ghozali
4.      Dampak tasawuf al – Ghazali bagi dirinya, umat islam dan bagi pendidikan di era modern ini.
C.     Tujuan Penulisan Makalah
1.      Dapat menjelaskan tentang sejarah dan biografi al – Ghazali.
2.      Dapat menjelaskan sebab  transisi filsafat al – Ghazali menuju tasawuf.
3.      Dapat menyebutkan ciri-ciri dan karakteristik tasawuf al-Ghozali.
4.      Dapat menjelaskan dampak tasawuf bagi diri al – ghazali, orang lain dan bagi pendidikan di era modern ini.






BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sejarah Dan Biografi al – Ghazali
Al – Ghazali lahir pada tahun 450H/1058 di Ghazhalah, suatu kota yang terletak di dekat daerah Thusi, wilayah Khurasan, Iran. Bertepatan dengan tahun wafatnya al – Muwardi seorang pengacara (Grand Judge ) di Otsawa. Nama al – Ghazali kadang ditulis dengan Gahazzali (dengan dua z ). Kata ini berasal dari ghazzal yang berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah al – Ghazali adalah tukang pintal benang wol. Sedangkan kata al – ghazali (dengan satu z) diambil dari ghazalah, nama kampung dimana dia lahir.
Pada usia muda al – ghazali sudah belajar fiqih di Thus dan melanjutkan study nya di Jurjan dibawah bimbingan abu Nasr al – Isma’ili, setelah itu al – Ghazali kembali ke Thus dan kemudian melanjutkan belajar di naisabur. Waktu di naisabur, berdiamlah seorang ulama besar, yang bernama al – Din al – Juwaini yang dijuluki Imam al- Haramain yang memimpin perguruan al – Nizamiyah. Di bawah pimpinan al – Juwaini, al – Ghazali mwnwkuni ilmu fiqih, mantiqdan ilmu kalam hingga al – Juwaini wafat tahun 478 H/1085 M.
Setelah imam al – Haramain wafat, al – Ghazali pindah ke Mu’askar dan menetap disana kurang lebih lima tahun. Pada saat itu ia sering menghadiri pertemuan – pertemuan ilmiah yang diadakan di istana perdana menteri Nizam al – Mulk. Melalui pertemuan- pertemuan ilmiah inilah al – Ghazali mulai muncul sebagai ulama yang menonjol. Pada tahun 484 H/ 1091 M ia diangkat sebagai guru besar di Universitas nizamiyah di Baghdad, Irak.[1] Periode ini menandai suatu tahap yang menentukan dalam hidupnya, sebab universitas memberikan perkembangan yang luar biasa bagi pengetahuannya di bidang filsafat. Dua karya yang ditulisnya pada masa itu adalah Maqasid al – Falasifah ( Maksud – maksud Para Filosof ) dan Tahafut al – Falasifah ( Keracunan Para Filosof ).
Sepanjang hidupnya ternyata al – Ghazali tidak mengalami ketenangan karena semua jalan yang dia tempuh untuk mencari kebenaran Tuhan ternyata tidak ada yang bisa memuaskan dirinya. Puncaknya pada saat karirnya tengah menanjak, al – Ghazali mengalami kegelisahan intelektual karena merasa gagal dalam memberi pengalaman religius, serta meragukan terhadap kebenaran yang dicapai oleh akal dan panca indera. Oleh karena itu, apabila kita mengkaji seluruh karya – karya beliau maka akan banyak kita temukan inkonsistensi pemikiran al – Ghazali. Karena banyak kontadiksi dalam karya – karya nya maka sukar menentukan pendirian al – Ghazali yang sebenarnya.
Akhirnya al – Ghazali menhalami sebuah krisis, yakni keraguan yang mendalam yang terjadi pada gejala – gejala fisiknya, tapi pada dasarnya bersifat religius. Menurut hematnya, pada saat ini tugas manusia yang paling penting adalah menghindari neraka demi memperoleh surga. Namun apa yang dirasakan waktu itu dia merasa bahwa hidupnya saat itu terlalu memikirkan duniawi saja. Setelah melalui perjuangan batin yang sangat hebat maka al – Ghazali memutuskan untuk meninggalkan baghdad untuk menjalani kehidupan zahid yang berkelana. Pada tahun 1095 ia melepaskan jabatannya di universitas dan meninggalkan keluarganya untuk mencari kepastian batin, yang merupakan jaminan bagi kebenarannya. Setelah betrhasil mengatasi krisinya  dan menghilangkan keraguannya, al – Ghazali kemudian kembali ke negerinya. Dan mulailah ia menulis karya – karya yang bernada sufistik.
Dan pada sub bab selanjutnya akan dijelaskan lebih rinci bagaimana terjadinya transisi filosof al – Ghazali ke pemikiran tasawuf atau sufistik.





B. Transisi Filsafat Al-Ghozali Menuju Tasawuf
Dalam sejarah peradaban islam, filsafat pernah diharamkan oleh para Ulama’. Alasannya, karena mengandung konsep-konsep asing yang bertentangan dengan islam. Tetapi lambat laun pandangan ini melunak, Ibnu Taimiyah yang pada awalnya sama sekali menolak filsafat akhirnya juga bisa menerimanya, dengan syarat, harus berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh Nabi. Pada dasarnya Al-Ghazal tidak menolak filsafat, tetapi beliau mengkritik cara pandang filosof yang terlalu lepas dan tanpa batas dalam usaha mereka mensifati Tuhan dan menemukan hakikat Tuhan.
Setiap filosof muslim memiliki corak yang beragam dalam berfilsafat. Meskipun mereka dalam corak cara pandang yang beragam, mereka tetap berpijak pada kebenaran yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan Al-Ghazali sendiri menganut corak religius-ortodok (berdasarkan agama yang keras dan tulen) yang bermuara pada sufistik. Dari sinilah awal mula perubahan arah Imam Al-Ghazali dari seorang filosof menjadi seorang mutashowwif[2].
Berbagai pendapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan apa penyebab atau faktor pendorong Al-Ghazali berbelok arah dari seorang filosof menjadi seorang mutashowwif yang mana keduanya sangatlah bertolak belakang. Jika filosof adalah seorang yang selalu menyimpan keraguan dan ketidak puasan akan eksistensi atau wujud Tuhan, kekekalan Tuhan bahkan kemahakuasaan Tuhan, sedangkan mutasowwif adalah seorang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan[3], mensucikannya dari segala hal yang besifat keduniawian, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan masyarakat, dan selalu memenuhi hati dan hari-harinya dengan segala hal yang bertujuan untuk membuat dirinya semakin dekat dan arif dengan Tuhan.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam diri setiap filolsof sudah tertanam satu sifat atau rasa ragu terhadap sesuatu, tak terkecuali Imam Al-Ghazali kektika beliau masih menjadi seorang filosof dan belum menjadi seorang mutashowwif. Keraguan ini tidak hanya berputar dalam aspek proses pencarian Tuhan, tapi dalam segala hal. Bahkan dalam hal-hal kecil pun, seorang filosof cenderung selalu menyimpan rasa ragu. Perlu diingat bahwa tidak semua filosof memiliki sifat ragu, akan tetapi kebanyakan, atau sebagian besar dari mereka memiliki sifat seperti itu. Sehinnga tidak jarang dari mereka justru melenceng dari tujuan, yang semula bertujuan mengenal dan mendekatkan diri dengan Tuhan (Allah) justru sebaliknya, mereka semakin jauh dari Tuhan (Allah).
Dari pandangan atau aliran filsfat beliau yang mengacu kepada filsafat religius-ortodok, akhirnya beliau menambatkan bahtera penelusuran dan pencarian Tuhannya pada aliran tasawuf yang ternyata membuatnya lebih puas dan bisa menerima ke-eksistensian dan kemahakuaasaan Tuhan (Allah)
Namun tidak cukup hanya disitu saja, ternyata disamping perpindahan arah dan cara fikir, beliau juga mengkritik para filolsof yang tidak henti-hentinya dan tidak pernah lelah dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya Tuhan selalu ada kapan pun dan dimana pun mereka berada, melalui kitab karangan beliau “Tahafutu al-Falasifah” yang kemudian dikritik balik oleh Imam Ibnu Rusd dengan kitabnya “Tahafutu at-Tahafut” yang disebabkan perbedaan pandangan beliau berdua mengenai filsafat. Lebih dari itu, beliau juga menentang adanya filsafat karena itu semua mengecilkan peran Tuhan dan dianggap merendahkan supremsi al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan islam tertinggi.
Tidak bisa kita pungkiri kehebatan dan kedudukan beliau. Itu terbukti dari pengikut dan pengagum beliau baik dari kalangan pengagum filsafat hingga para penganut tasawuf atau mutashowif. Dalam ranah filsafat, dari dulu hingga sekarang yang didoktrinkan kepada otak dan pikiran kita mengenai filsafat islam dan berbagai macam jenis dan alirannya semuanya mengacu atau condong terhadap Imam Ghazali, meskipun beliau sudah tidak menjadi seorang filosof lagi akan tetapi beliau adalah seorang mutasowwif. Dalam dunia tasawuf beliau juga sangat dikagumi. Karya beliau yang paling fenomenal adalah kitab “Ihya’ Ulumiddin”, sebuah kitab tasawuf yang sangat terkenal dan tidak kalah dikagumi dibanding pengarangnya. Dikatakan demikian karena pesan-pesan, wejangan dan juga pelajaran-pelajaran tentang bagaimana kita harus bersikap, berakhlaq dan berperilaku, baik terhadap sesama manusia, terhadap Allah dan juga terhadap semua yang ada di dunia ini, yang terlihat dan yang ghoib, yang hidup dan yang mati, yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memiliki nilai keluhuran yang sangat tinggi, sehingga berbagai pujian dilontarkan kepada kitab Ihya’ Ulumiddin dan juga pengarangnya.
Setelah Al-Ghozali bertransisi dari seorang filosof menuju seorang mutashowif, ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita ambil untuk dijadikan sebagai bahan renungan dalam menjalani hidup dan mendekatkan diri kepada Sang Kholik. Pelajaran itu diantaranya adalah ketika Al-Ghozali memberikan beberapa pertanyaan kepada murid-muridnya, dan pertanyaan-pertanyaan itu adalah; yang pertama,  “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab “orang tua, guru, kawan, dan sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa, “setiap yang bernyawa pasti akan mati”.[4]
Pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab “negara Cina, bulan, matahari dan bintang-bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?” Murid-muridnya menjawah “gunung, bumi dan matahari”. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU”[5]. Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat, “Apa yang paling berat di dunia ini?” Ada yang menjawab “besi dan gajah”. Semua jawaban adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH[6]. Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.
Yang kelima, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”. Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Shalat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan shalat, gara-gara aktivitas kita meninggalkan shalat.
Dan pertanyaan keenam, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA”. Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.
Dari pesan-pesan beliau yang tergambarkan dalam pertanyaan-pertanyan diatas merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita dan perlu kita renungkan dan juga diamalkan. Karena itu semua merupakan kunci dan pegangan untuk hidup bahagia, tentram dan tenang di dunia dan akhirat.
Itu lah sekelumit pengalaman sepiritual dari seorang Imam Al-Ghozali, yang semula beliau adalah seorang filosof kemudian bertransisi atau berpindah haluan menjadi seorang mutashowwuf.
C. Ciri-ciri dan Karakteristik Tasawuf al-Ghozali
Tentang Transisi Filsafat Al-Ghozali Menuju Tasawuf bisa menjadi bukti bagi kita bahwa seorang Imam Al-Ghazali bukanlah orang yang hanya sekedar dalam ke-tashowwufan. Namun terlepas dari itu, karena beliau pada awalnya adalah seorang filosof yang juga sangat andal, pemikiran beliau tentang perkara-perkara ilahiyah, dalam ilmu tasawuf juga masih sedikit berbau rasio. Hal ini bisa dibuktikan dalam salah satu bab pada kitab Ihya’ Ulumiddin karangan beliau, yang membahas tentang ruh. Beliau menjelaskannya dengan panjang lebar. Mulai bagaimana hakikat ruh, seperti apa ruh dan bagaimana eksistensi ruh dalam jasad atau tubuh manusia. Beliau mengumpamakan ruh seperti sebuah lampu yang terdiri dari sumbu dan minyak. Jika sumbu atau minyak itu ada yang kurang, maka nyala apinya juga akan berkurang, bahkan mati. Seperti itu juga ruh. Ruh terdiri dari beberapa unsur, jika salah satu dari unsur itu berkurang, maka berkurang juga lah daya ruh tersebut, bahkan ruh itu bisa mati.  Begitulah penjelasan beliau tentang ruh, padahal di dalam Al-Qur’an Allah SWT. Berfirman dalam Surat Al-Isro’:85 yang artinya sbb; Katakanlah (wahai Muhammad): “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. Dari ayat Al-Qur’an tersebut sudah jelas bahwasannya yang berhak untuk menjelaskan bagaimana ruh itu dan sebagainya hanyalah Allah semata. Tetapi disini Imam Al-Ghazali berani menjelaskanya dengan sedemikian gamblangnya yang mungkin semua itu adalah menurut pemikiran rasio beliau. Dan ketika ditanya mengapa beliau berani menjelaskan hal itu? beliau menjawabnya dengan lugas dan sangat sesuai. Yang beliau jelaskan adalah ruh dalam ranah batas pengetahuan seorang dokter, tidak lebih dari itu. Yang mana seorang dokter mengetahui apa saja yang tidak baik dan berbahaya bagi tubuh manusia yang juga berakibat terhadap ruh. Dan dasar yang dipakai adalah tubuh, bukan ruh itu sendiri. Sehingga jika yang bermasalah adalah ruh-nya, maka seorang dokter angkat tangan, itu bukan lagi kemampuannya, tapi Allah lah yang berhak dalam masalah itu.
Penjelasan beliau ini sangat rasional sekali. Dan jika direnungkan memang benar. Yang beliau jelaskan masih dalam batas ilmu kesehatan. Sedangkan dalam hal lain, seperti apa yang dipastikan oleh Allah terhadap ruh pada zaman azali, apa yang terjadi pada ruh itu kelak pada hari akhir dan lain-lain, beliau tidak menjelaskannya, karena itu adalah hak Allah Azzawajalla sebagai Sang Kholik.
            D. Dampak Dari Transisi Al-Ghozali
Jika melihat sejarah, bahwa Imam Al-Ghozali adalah seorang tokoh ulama sekaligus ilmuwan yang fenomenal pada zamannya bahkan hingga sampai saat ini. Yang mana pemikiran dan karya-karya beliau yang begitu memukau dan mempengaruhi pola fikir dan pandangan banyak orang khusunya umat islam. Maka tidaklah mengherankan jika setiap tindak-tanduk beliau selalu jadi perhatian umat, terlebih dengan keterkaitan keputusan beliau yang berpindah haluan dari seorang filosof menjadi seorang mutashowwif. Diinginkan atau tidak, keputusan ini pastilah berdampak, baik itu terhadap diri pribadi Al-Ghozali, umat, dan ilmu pengetahuan.
Dari ulasan-ulasan sebelumnya diatas tentu dapat kita ambil gambaran tentang dampak dari keputusan Al-Ghozali, yang pertama terhadap dirinya pribadi, setelah beliau berpindah haluan menjadi seorang mutashowwif banyak sekali perubahan yang beliau rasakan terutama dalam kehidupan sepiritual. Beliau merasakan kepuasan dan ketenangan dalam menerima keberadaan, ke-eksistensian, dan kemahakuasaan Tuhan. Yang mana hal ini sangat bertolak belakang ketika beliau masih menjadi seorang filosof yang selalu mencari dan mendekatkan diri terhadap Tuhan dengan cara-cara filosof yang disertai rasa keragu-raguan.
Kemudian dampak selanjutnya dari keputusan Al-Ghozali adalah terhadap umat. Yang mana sebelumnya beliau dikenal sebagai seorang filosof dan tidak sedikit pengagum dan pengikut beliau disaat masih berkecimpung di dunia filosof. Dari dulu hingga sekarang yang didoktrinkan kepada otak dan pikiran kita mengenai filsafat islam dan berbagai macam jenis dan alirannya semuanya mengacu atau condong terhadap Imam Ghazali, meskipun beliau sudah tidak menjadi seorang filosof lagi. Jika kita renungkan kita sangat beruntung kalau saja seorang Imam Ghazali tetap berkecimpung dalam dunia filsafat. Karena sosok seperti beliaulah yang kita butuhkan sebagai anutan dalam filasaft agar kita tidak sampai terjerembap ke jalan yang tidak seharusnya kita lalui, jalan yang seringkali dijadikan titik akhir pencarian seorang filosof yang sudah menemukan jalan buntu, yaitu jalan kesesatan dan semakin jauh dari Tuhan. Tetapi dilain sisi yaitu dunia tasawuf, beliau sangat dikagumi dan diikuti oleh para mutashowwif.
Yang selanjutnya berdampak pada ilmu pengetahuan, dari transisi atau perpindahan sudut pandang Al-Ghozali tersebut, dalam dunia ilmu pengetahuan, Al-Ghozali banyak sekali memberikan kontribusi, terlebih ketika beliau benar-benar memutuskan berhijrah dari seorang filosof menjadi seorang mutashowwif. Ilmu pengetahuan sangat diuntungkan dengan keputusan beliau itu, karena dengan begitu banyak karya-karya beliau yang secara otomatis itu menambah kaya materi-materi ilmu pengetahuan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan penelitian dan bahan diskusi di dunia akademik.


BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Dari uluasan-ulasan dan pembahasan di atas, dimulai dari Imam Al-Ghazali sebagai seorang filosof, Imam Al-Ghazali sebagai seorang mutashowwif dan Imam Al-Ghazali sebagai seorang mutashowwif yang filosofis, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pencapaian suatu tingkatan yang memang benar-benar tinggi atau mulia di sisi Allah bukanlah suatu perkara yang mudah, itu semua harus melalui proses yang sangat panjang dan tidak setiap orang bisa melakukannya. Hanya orang-orang tertentu dan terpilihlah yang bisa mendapatkan kesempatan itu. Kemudian dapat disimpulkan pula bahwasanya setiap keputusan yang akan kita ambil haruslah difikirkan secara matang-matang agar tidak menyesal dengan apa yang telah kita putuskan. Karena setiap keputusan pastilah akan berpengaruh terhadap kehidupan kita saat ini dan yang akan datang kemudian. Baik itu bagi diri kita maupun bagi kehidupan sekitar kita, sebab kita adalah makhluk sosial. Artinya kita tidak bisa hidup secara individual melainkan kita butuh orang lain.
Diakhir tulisan makalah ini penulis menyisipkan pesan nasehat dari seorang tokoh sufi yang dapat kita jadikan sebagai bahan renungan, beliau adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jaelaniy. Beliau berpesan, “Hati-hatilah ketika melakukan sesuatu, jangan tergesa-gesa, karena hal itu bisa berakibat keliru, atau sekurang-kurangnyamendekati salah. Barang siapa bersikap tergesa-gesa, maka ia mengikuti setan. Berbuatlah dengan sikap berhati-hati tapi pasti, karena dengan cara seperti itu, engkau dapat berhasil, atau sekurang-kurangnya mendekati keberhasilan.
 Dan melakukan sesuatu pertimbangan yang matang, maka akan dikasihani oleh Allah Yang Maha Pengasih”. Demikian semoga kita selalu mendapatkan ketenangan hati dalam menjalai hidup dan mendekatkan diri kepada Alla SWT. Amin.


DAFTAR PUSTAKA
Zuhri, Amat.Warna – Warni Teologi Islam. STAIN Pekalongan Press. Pekalongan: 2008

























[1] Zuhri, Amat. Warna- warni Teologi Islam. STAIN Pekalongan  Press. Pekalongan.2008 : h: 143
[2] Orang yang menjalankan tassawuf
[3] Allah
[4] QS. Ali Imron : 185
[5] QS Al-A’raf : 179
[6] Al-Ahzab : 72

No comments: