Pendahuluan
Al-Quran adalah
wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara
berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia.
Di dalamnya terkandung pelbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat
maupun tersirat.
Sebagai umat
Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan
mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan
mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya
sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.
Mushaf Al-Qur’an
yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang
berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai
latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas
keotentikan Al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam
firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr
(Al-Qur’an), dan kamilah yang akan menjaganya”
Al-Quran pada zaman Rasulullah SAW.Pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama : al Jam’u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al Jam’u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya ” (Hadis dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal

Biasanya sahabat
menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa’
(kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang),
al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an
waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan
Al-Qur’an telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di
Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas
r.a., ia berkata: “Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis
Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang “.
Dari kebiasaan
menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang
dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah:
Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan
Salim bin Ma’qal.
Adapun hal-hal
yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada
waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah
musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian membawa catatan Al-Qur’an
kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan
Al-Qur’an tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk
islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus
sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama
Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip)
Al-Qur’an kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang
menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam.
Sepanjang hidup
Rasulullah s.a.w Al-Qur’an selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena
Al-Qur’an diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
Al-Quran
pada zaman Khalifah Abu Bakar as Sidq
SEPENINGGAL
Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip)
Al-Qur’an, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran
yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al-Qur’an yang susunan
surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi
tartibin nuzul).
Imam Bukhari
meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan
naskah-naskah Al-Qur’an yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang
diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi:
“Suatu ketika Abu
bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah ,
ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :” Umar menghadap kapadaku dan
mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya
dari kalangan para penghafal Al-Qur’an, aku khawatir kejadian serupa akan
menimpa para penghafal Al-Qur’an di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak
akan ada lagi sahabat yang hafal Al-Qur’an, menurutku sudah saatnya engkau
wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al-Qur’an, lalu aku berkata
kepada Umar : ” bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah s. a. w. ?” Umar menjawab: “Demi Allah, ini adalah
sebuah kebaikan”.
Selanjutnya Umar
selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku,
maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al-Qur’an.
Zaid berkata: Abu
bakar berkata kepadaku : “engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar,
kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Qur’an) untuk
Rasulullah s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah Al-Qur’an lalu
kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf”.
Zaid berkata :
“Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu
gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk
mengumpulkan Al-Qur’an. Kemudian aku teliti Al-Qur’an dan mengumpulkannya dari
pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain).
Kemudian Mushaf
hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut
terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya
yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan
sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.
Semua sahabat
sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah
dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf.
Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya
kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah
ini dengan mengatakan : ” Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu
bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali
mengumpulkan Al-Qur’an, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut
Al-Qur’an sebagai Mushaf).
Menurut riwayat
yang lain orang yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf adalah
sahabat Salim bin Ma’qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : “Kami
menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang
dikumpulkan dan di bundel sebagai MUSHAF” dari perkataan salim inilah Abu bakar
mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al-Qur’an yang telah
dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam
Al-Qur’an sendiri kata Suhuf (naskah ; jama’nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah
satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 ” Yaitu seorang Rasul utusan
Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al-Qur’an)”
Al-Quran pada zaman khalifah Umar bin
KhatabTidak ada perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan oleh khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu mengemban misi untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya yaitu Al-Qur’an pada wilayah-wilayah daulah islamiyah baru yang berhasil dikuasai dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitas ke-Al-Quranan-nya bisa dipertanggungjawabkan Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda’.
Al-Quran
pada zaman khalifah Usman bin ‘Affan
Pada masa
pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah
arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja
(‘Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu
dampaknya adalah ketika mereka membaca Al-Qur’an, karena bahasa asli mereka
bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh
salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang
bernama Hudzaifah bin al-yaman.
Imam Bukhari
meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin
pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk
menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman
dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan
bacaan Al-Qur’an yang mengarah kepada perselisihan.
Ia berkata :
“wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan
Al-Qur’an, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai
kaum yahudi dan nasrani “.
Lalu Usman meminta
Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang
telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al’Ash, Abdurrahman bin
al-Haris dan lain-lain.
Kodifikasi dan
penyalinan kembali Mushaf Al-Qur’an ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan
apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku
Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan gaya bahasa mereka.
Setelah panitia
selesai menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah.
Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan
manuskrip Al-Qur’an selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf hasil
salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam
dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang
belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.
Tindakan Usman
untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan
umat islam sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai
sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa
mengumpulkan Al-Qur’an.
Adapun Tulisan
yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah
berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath
(titik sebagai pembeda huruf).
Tanda Yang
Mempermudah Membaca Al-QuranSampai
sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan
mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah
Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan
Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan
disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan umat islam
dilarang untuk melihatnya.
Pada tahun yang
sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan
Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk
Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar
Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara
di bagian asia tengah).
Mushaf kedua
terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat
terdapat di kota Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan
mushaf yang asli apa adanya.
Sampai suatu saat
ketika umat islam sudah terdapat hampir di semua belahan dunia yang terdiri
dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda sehingga memberikan inspirasi
kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada
waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca (Nuqathu
I’rab) yang berupa tanda titik.
Atas persetujuan
dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada
mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah
riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai seseorang
yang bukan orang arab dan baru masuk islam membaca kasrah pada kata
“Warasuulihi” yang seharusnya dibaca “Warasuuluhu” yang terdapat pada QS.
At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.
Abul-Aswad
ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk menandai
fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai
Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang
berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal
seperti “adzabun alim” dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai
Idgham seperti “ghafurrur rahim”.
Adapun yang
pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama
karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan
Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah
Umayyah (40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah,
Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah
al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (W.170 H) pada abad ke II H.
Kemudian pada masa
Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah
orang untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an khususnya bagi orang selain arab
dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad.
Sebagaimana mereka
juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor
ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca),
menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat
turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain
yang dibubuhkan pada tulisan Al-Qur’an adalah Tajzi’ yaitu tanda pemisah antara
satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan penomorannya
(misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi yang
berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz itu sendiri.
Sebelum ditemukan
mesin cetak, Al-Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf utsmani dengan cara
tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika Eropa
menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah
Al-Qur’an untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.
Naskah tersebut
sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini semakin
mempermudah umat islam memperbanyak mushaf Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an yang
pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf edisi Malay
Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg Rusia.
Kemudian diikuti
oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia Iran tahun
1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman ,
Fluegel, menerbitkan Al-Qur’an yang dilengkapi dengan pedoman yang amat
bermanfaat.
Sayangnya,
terbitan Al-Qur’an yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata mengandung
cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem yang
digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Al-Qur’an
dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para
Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.
Cetakan Al-Qur’an
yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang
juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang memprakarsainya. Edisi
ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan
di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk
pertama kalinya Al-Qur’an dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan
dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas
prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.
Kompleks
Percetakan al-Qur’an Raja Fahd bin Abdul Aziz
Bagi kaum Muslimin
yang sedang berhaji ke Tanah Suci, perhelatan spiritual mereka tentu terasa
lebih lengkap manakala sempat berkunjung ke Mujamma” Al-Malik Fahd, tempat
percetakan alquran terbesar dunia di Madinah Almunawarah.
Terletak di jalan
menuju Kota Tabuk atau sekitar 10 kilometer dari Kota Madinah, lokasi
percetakan tepat bersebelahan dengan pusat pelatihan tempur tentara Kerajaan
Arab Saudi. Percetakan yang lebih mirip disebut kawasan perkantoran itu mulai
didirikan pada 2 November 1982.
Pembangunan
ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Raja Fahd. Nama Raja Fahd sebagai
peletak batu pertama diabadikan menjadi nama yang melekat pada percetakan
tersebut.
Dua tahun
kemudian, tepatnya bulan Safar 1405 Hijriyah atau Oktober 1984 Masehi, Alquran
mulia diproduksi di sini. Saat ini, perkantoran Mujamma” Al-Malik Fahd berdiri
megah di atas lahan seluas 250 ribu meter persegi. Terdiri atas puluhan gedung
bertingkat, percetakan ini mampu memproduksi 30 juta eksemplar per tahun.
Bila dibandingkan
dengan percetakan Alkitab (bibel atau kitab umat Kristiani–Red) di Nanjing,
Cina, percetakan Mujamma” Al-Malik Fahd jauh lebih besar. Percetakan Alkitab di
Nanjing hanya berdiri di atas lahan seluas 48 ribu meter persegi. Kapasitas
percetakan Nanjing yang disebut-sebut sebagai percetakan Alkitab terbesar di
dunia itu pun, hanya memproduksi 12 juta eksemplar per tahun.
Bahkan, pada tahun
2007, percetakan Nanjing baru mampu mencetak enam juta Alkitab. Penerbit The
Amity yang bekerja sama dengan Bible Society, baru meningkatkan produksinya di
percetakan Nanjing pada tahun 2008. Hingga kini, percetakan di sebelah timur
Cina itu mempunyai kemampuan maksimal 12 juta eksemplar Alkitab per tahun.
Alquran
digital
Selain mencetak Alquran tradisional, percetakan Mujamma” Al-Malik Fahd juga memproduksi Alquran dalam versi digital atau cakram padat (CD, VCD, dan DVD). Jamaah haji yang berkesempatan mengunjungi percetakan akan menjumpai berbagai sarana dan fasilitas tambahan, selain gedung pabrik percetakan.
Selain mencetak Alquran tradisional, percetakan Mujamma” Al-Malik Fahd juga memproduksi Alquran dalam versi digital atau cakram padat (CD, VCD, dan DVD). Jamaah haji yang berkesempatan mengunjungi percetakan akan menjumpai berbagai sarana dan fasilitas tambahan, selain gedung pabrik percetakan.
Di kawasan
perkantoran itu terdapat gedung perbengkelan mesin cetak, poliklinik,
kafetaria, gudang penyimpanan hasil produksi Alquran, dan gudang pemusnahan
sisa-sisa produksi Alquran yang cacat.
Terdapat pula
gedung pusat pelatihan petugas, pusat pengembangan Dirasat Alquran (Pendidikan
Alquran), asrama petugas, penginapan tamu, ruang pejabat tinggi negara, tempat
pembuatan CD, VCD, dan DVD Alquran, serta ruang produksi video sejarah Alquran
untuk para tamu. Selain itu, juga ada lemari-lemari raksasa untuk menyimpan
koleksi Alquran dari berbagai bahasa yang pernah diterbitkan percetakan.
Lantai satu gedung
utama merupakan lokasi pencetakan Alquran dengan kurang lebih 1.700 petugas.
Sedangkan lantai dua gedung utama, terdapat ruang pengawasan kualitas hasil
cetak Alquran dengan 450 pengawas.
Petugas bagian
publikasi Mujamma” Malik Fahd, Syekh Ahmad, menjelaskan, untuk kepentingan
syiar Islam, Alquran dicetak beserta terjemahannya ke dalam 53 bahasa. Di
antara bahasa terjemahan Alquran yang dicetak di sana adalah bahasa Afrika,
seperti bahasa Zulu. Lalu, ada dalam bahasa Arab, Indonesia, Thailand, Jepang,
Cina, Inggris, Spanyol, Urdu, serta sejumlah bahasa Asia lainnya.
Terkait proses
pencetakan Alquran, Syekh Ahmad menjelaskan, produksi dilakukan melalui lima
tahap. Sebelum dicetak pada media kertas yang sebenarnya, para kaligrafer
menorehkan tulisan-tulisan huruf Alquran tanpa titik dan baris di atas pelat
cetakan yang transparan.
No comments:
Post a Comment