Melihat beberapa acara-acara religius di televisi dan radio pada
bulan puasa ini membuat saya akhirnya tergerak untuk kemudian menulis tentang
seluk beluk puasa berdasarkan al Quran. Di dalam pembahasan ini,
ijinkanlah saya mengulas beberapa konsepsi mengenai puasa yang diajarkan kepada
kita selama ini yang kemungkinan dapat berlainan dengan apa yang dikehendaki
Allah di dalam al Quran.
Puasa diambil dari bahasa sansakerta, sedangkan dalam bahasa
Arabnya disebut sebagai shaum atau shiyam. Kebiasaan berpuasa ini sudah ada
sejak sebelum Nabi Muhammad dan telah diwajibkan Allah sebelumnya sehingga kebiasaan
puasa tidaklah dimulai pada masa Nabi Muhammad saja, namun juga telah dilakukan
oleh para Nabi dan kaum sebelumnya, termasuk sebelum datangnya Islam ke
Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Surat 2:183, Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan (KUTIBA) atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Meskipun kewajiban berpuasa ini telah dikenal oleh Nabi dan kaum
sebelum Nabi Muhammad, namun ritual berpuasa dari masing-masing Nabi dan
masing-masing kaum berbeda-beda. Kita misalnya mengenal cara berpuasa Nabi Daud
dimana beliau dan kaumnya berpuasa secara selang seling, sehari berpuasa,
sehari tidak. Sebagian dari kita juga mengenal kebiasaan berpuasa Nabi Musa
dimana beliau berpuasa jika tidak mendapati makanan. Meskipun untuk umat-umat
sebelumnya sudah ada perintah berpuasa, namun tata cara dan ritualnya
berbeda-beda. Meskipun ritualnya berbeda-beda, namun para Nabi sebelum Nabi
Muhammad, memiliki tujuan dan hakikat berpuasa yang sama, yaitu agar menjadi
manusia yang bertakwa.
Sebagaimana disebutkan bahwa berpuasa itu kewajiban atau dalam
bahasa Arab aslinya disebutkan sebagai “KUTIBA” atau “KATABA” yang berarti
kewajiban yang ditentukan waktunya. Perintah KUTIBA atau KATABA sama seperti
perintah untuk melakukan sembahyang yang disebutkan dalam Surat 4:103, Maka
apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman,
maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya (KATABA) atas orang-orang yang beriman.
KATABA atau KUTIBA berarti adalah kewajiban yang ditentukan
waktunya. Ini berlaku untuk perintah shalat dan puasa yang merupakan ibadah
ritual. Tidak pernah di dalam al Quran, Allah memerintahkan manusia untuk
berpuasa dan shalat dengan perintah “FARDHU” karena memang arti kata FARDHU
dengan KATABA atau KUTIBA sangatlah berbeda. FARDHU berarti ketetapan yang
diwajibkan, KATABA berarti kewajiban yang ditentukan waktunya.
Di dalam al Quran, perintah FARDHU adalah untuk bersedekah, bukan
untuk berpuasa atau shalat, sebagaimana disebutkan dalam Surat 9:60, Sesungguhnya
sedekah-sedekah itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus sedekah, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah (FARDHU), dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Terdapat perbedaan antara perintah Fardhu didalam sedekah dan
perintah Kutiba di dalam puasa dan shalat. Saya dapat ilustrasikan seperti ini.
Seorang siswa SD memiliki kewajiban untuk belajar supaya pandai dan naik kelas.
Siapa yang belajarnya rajin, maka ia akan dapat nilai yang baik. Namun sekolah
mewajibkannya pula untuk mengikuti upacara bendera setiap minggu meskipun
upacara bendera itu tidak akan menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa.
Upacara bendera itu adalah ritual dimana masing-masing siswa mengikrarkan diri
untuk belajar lebih baik.
Belajar bagi seorang siswa SD, itulah FARDHU atau ketetapan yang
diwajibkan, sementara upacara bendera bagi seorang siswa SD itulah KUTIBA atau
KATABA atau kewajiban yang ditentukan waktunya dengan cara tertentu, di tempat
tertentu dan pada waktu-waktu tertentu. Itulah perbedaan antara puasa
sebagai KUTIBA dan sedekah sebagai FARDHU.
Terdapat konsepsi yang seringkali keliru bahwa puasa yang kita
lakukan selama ini adalah kewajiban yang bersifat FARDHU, padahal puasa itu
KUTIBA. Niat puasa kita selama ini adalah “Aku berniat puasa fardhu di bulan
Ramadhan karena Allah ta’ala”, padahal tidak pernah Allah memerintahkan di
dalam al Quran untuk berpuasa sebagai fardhu, tetapi sebagai kutiba.
Mengapa perbedaan antara FARDHU dan KUTIBA ini menjadi amat
penting dibahas? Selama ini kita diajarkan untuk rajin dan berlomba-lomba
berpuasa, tetapi tidak berlomba-lomba sedekah. Ibarat anak SD yang rajin
upacara bendera, bahkan saking rajinnya ia juga mengikuti upacara bendera di
sekolah lain, tetapi tidak pernah belajar, sehingga pada akhirnya waktu ujian
tidak lulus.
Kewajiban yang bersifat FARDHU itu harus dilakukan setiap saat,
tidak mengenal tempat, tidak mengenal daerah, sebagaimana kita menarik nafas
setiap saat. Kewajiban yang bersifat KUTIBA itu dilakukan di tempat tertentu,
pada waktu-waktu tertentu dan dengan tata cara tertentu.
Sebagaimana saya pernah membahas pada bahasan sebelumnya bahwa
terjadi persepsi yang salah tentang Islam. Ada yang menganggap bahwa Islam
tidak dapat diterapkan di seluruh dunia, namun hanya untuk penduduk di sekitar
katulistiwa, dimana waktu siang dan malamnya sama.
Bagaimana dapat menjalankan ibadah puasa kalau waktu siangnya
lebih dari 15 jam seperti yang terjadi di Eropa atau belahan dunia yang lain?
Orang yang memaksakan berpuasa di daerah seperti itu pastilah pingsan.
Bagaimana dapat sembahyang secara lima waktu kalau waktu malamnya hanya dua jam
seperti di benua Antartika? Ayah saya memiliki penyakit diabetes dimana
jika berpuasa akan terjadi kemungkinan gula darahnya turun secara mendadak dan
drastis sehingga dokter menyarankan untuk tidak berpuasa. Jika ayah saya
memaksakan diri untuk berpuasa, maka dampak buruknya akan lebih tinggi.
Ajaran al Quran adalah untuk seluruh manusia, bukanlah untuk
penduduk di katulistiwa saja. Ajaran puasa adalah untuk seluruh manusia, bukan
hanya orang yang sehat saja.
Cara berpuasa bagi orang yang berat menjalankan baik disebabkan
oleh waktu, kondisi sakit, pekerjaan dan alasan-alasan lainnya adalah dengan
membayarkan fidyah, sebagaimana disebutkan dalam Surat 2:184-185, (yaitu) dalam beberapa
hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
Ukuran dari berat ini adalah ukuran diri sendiri dan bukan ukuran
orang lain karena bisa jadi sesuatu itu ringan untuk seseorang tetapi berat
untuk orang lain. Telah disebutkan dalam ayat diatas, bahwa Allah menghendaki
kemudahan bagimu, bukanlah kesukaran bagimu, sehingga bagi manusia yang berat
menjalankan puasa dan memaksakan diri untuk berpuasa, tidaklah sesuai dengan
kehendak Allah.
Oleh karena itu Allah menegaskan kembali bahwa berpuasa itu adalah
KUTIBA bukanlah FARDHU karena berpuasa dilakukan pada tempat-tempat tertentu,
waktu-waktu tertentu dengan tata cara tertentu dan pada keadaan manusia yang
tertentu.
Akhirnya, saya perlu menegaskan bahwa kita perlu menempatkan hukum
Allah pada proporsinya, jangan mengurangi dan jangan menambah-nambahkan. Pasti
ada maksud mengapa Allah memerintahkan manusia untuk berpuasa dengan perintah
KUTIBA dan memerintahkan manusia bersedekah dengan perintah FARDHU.
Menambah-nambah hukum Allah adalah perbuatan yang mempersekutukannya secara
aturan, sebagaimana disebutkan dalam:
Surat 7:33, Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk
itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui.”
Surat 6:57, Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas
hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak
ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya.
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan
Dia Pemberi keputusan yang paling baik.”
(bersambung)
Catatan:
1. Angka diatas berarti
rujukan ayat al Quran, 28:56 berarti surat ke-28 ayat ke-56, mohon dibaca
langsung al Qurannya sebagai sumber kebenaran.
2. Mohon dicek kalau ada
kesalahan dalam nomor ayat al Quran nya dan mohon ditambahkan untuk
kesempurnaan. (sumber lain)
No comments:
Post a Comment