BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ilmu nasikh wa mansukh masih menjadi
berdebatan yang cukup menarik dikalangan para ulama. Sebagian ulama berpendapat
bahwa naskh diperbolehkan dan sebagian ulama pun juga berpendapat bahwa naskh
itu tidak diperbolehkan. Merujuk pada surat an-Nisa ayat 82 yang artinya : “Seandainya
(Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di
dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak”, mereka berbeda pendapat mengenai bagaimana menghadapi
ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Di dalam
Al-Quran sendiri, kata naskh ditemukan sebanyak empat kali, antara lain pada
QS. Al-Baqarah/2:106, QS. Al-`Araf/7:154, QS. Al-Hajj / 22:52, dan QS.
Al-Jatsiah / 45:29.
Ada yang mengatakan bahwa ide naskh
merupakan “min akbar al-kawârits
al-fikriyyah” (salah satu malapetaka pemikiran terbesar) yang menjadikan
para ulama salaf tergelincir serta tertipu.
Para ulama telah berijma‘ bahwa
naskh itu ‘boleh’ secara akal, dan ‘terjadi’ secara pendengaran (jâ’iz ‘aqlan wa wâqi‘ sam‘an). Dan hanya
Abu Muslim al-Ashfahânî saja yang menyatakan ‘boleh’, tetapi ia (naskh) bukan
menjadi satu realita (tidak terjadi). Sehingga menjadi menarik untuk ditelusuri
karena masalah naskh ini sangat erat kaitannya dengan istinbâth al-ahkâm
(menyimpulkan satu hukum). Dengan demikian harus benar diketahui dan dibahas
secara serius.[1]
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan nasakh dan
mansukh?
2.
Apa saja macam-macam nasakh?
3.
Apa saja bentuk-bentuk naskh?
4.
Bagaimana pendapat para ulama mengenai
naskh?
5.
Apa saja ayat yang terkena naskh?
6.
Apa saja hikmah mengetahui naskh?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui pengertian nasikh dan
mansukh
2.
Untuk mengetahui macam-macam nasakh
3.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk naskh
4.
Untuk mengetahui pendapat para ulama
mengenai naskh
5.
Untuk mengetahui ayat yang terkena naskh
6.
Untuk mengetahui hikmah naskh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nasikh dan Mansukh
Nasikh
berasal dari kata naskh yang mempunyai arti secara etimologi yaitu menghapus dan menghilangkan (al-izaalat, seperti yang terdapat didalam QS. Al-Hallaj:52),
mengganti dan menukar (at-tabdiil,
seperti yang terdapat didalam QS. An-Nahl:101), memalingkan atau pengalihan (at-tahwiil, sebagai yang berlaku dalam
ilmu faraidh), dan menukilkan, memindahkan atau mengutip (an-naql, seperti kalimat nasakhtu
al-kitab). Dari sekian banyak pengertian nasakh seperti yang diatas,
menurut tarjih ahli bahasa pengertian nasakh yang paling mendekati kebenaran
yaitu al-izaalah, yakni mengangkat
sesuatu dan menetapkan yang lain pada tempatnya.
Sehingga
dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan nasikh yaitu sesuatu yang menghapus,
mengganti dan membatalkan atau yang tidak memberlakukan.
Mansukh
adalah hokum yang diangkat atau yang dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung didalamnya, misalnya
adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat
sebagaimana akan dijelaskan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam
naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
1.
Hukum yang mansukh adalah hukum syara’;
2.
Dalil penghapusan hukum tersebut
adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khithab yang hukumnya
dimansukh.
3.
Khithab yang dihapuskan atau diangkat
hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak
demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang
demikian tidak dinamakan naskh.[2]
Arti
nasikh dan mansukh secara terminologi yaitu membatalkan pelaksanaan hukum syara
dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusannya secara jelas
atau implisit (dhimni). Baik
penghapusan itu secara keseluruhan atau sebagian, menurut kepentingan yang ada.
Atau melahirkan dalil yang datang kemudian yang secara implisit menghapus
pelaksanaan dalil yang lebih dulu.
Pengertian
nasikh dan mansukh secara terminolgi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1.
Menurut ulama Mutakadimin (abad ke 1
hingga abad ke 3 H), arti nasikh dan mansukh secara terminologi ada 3, yaitu:
a.
Pembatalan hukum yang ditetapkan
kemudian
b.
Pengecualian hukum yang bersifat umum
oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
c.
Penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang belum jelas (samar), dan penetapan syarat terhadap hukum
yang terdahulu yang belum bersyarat.
Selain itu ada pendapat lain yang
mengatakan bahwa istilah tersebut berarti pembatalan ketetapan hukum yang
ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh ketetapan lain yang berbeda akibat
munculnya kondisi lain. Sebagai contoh kaum muslimin pada periode Mekkah diperintah
untuk bersabar. Hal ini dikarenakan kondisi mereka yang lemah kemudian di naskh
oleh adanya perintah berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka yang
sudah kuat.
2.
Menurut ulama Muta`akhirin ( setelah
abad 3 H), naskh
merupakan suatu ketentuan hukum yang datang kemudian untuk membatalkan masa
berlakunya hukum terdahulu. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketetapan hukum
terdahulu tidak berlaku lagi dikarenakan
adanya ketetapan hukum yang baru.
B. Macam-macam
Nasakh
1.
Al-Qur`an dengan al-Qur`an
Bagian ini telah disepakati
kebolehannya dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh.
Contoh :

Artinya: “Dan orang –orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan
meninggalkan istri ,hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu ) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri) , maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri
mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.al-Baqarah/2: 240)

Artinya: “Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234)
Sebagian berpendapat bahwa pada ayat
pertama muhkam. Hal ini disebabkan karena ayat pertama berkaitan dengan
pemberian wasiat bagi istri jika istri tidak keluar dari rumah suami serta
tidak kawin lagi. Namun ayat kedua berkenaan dengan masalah iddah. Dapat
disimpulkan bahwa diantara kedua ayat tersebut tidak ada pertentangan.
2.
Al-Qur`an dengan Sunnah
Nasakh ini dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
a.
Naskh al-Qur`an dengan Hadits Ahad
Menurut para jumhr ulama, al-Qur’an
tidak boleh dinaskh oleh hadits ahad. Hal ini dikarenakan al-Qur’an adalah
mutawatir dan yakin, namun hadits ahad dzanni,
bersifat dugaan. Sehingga tidak sah jika menghapuskan sesuatu yang jelas
diketahui dengan yang diduga.
b.
Naskh al-Qur`an dengan Hadits
Mutawatir
Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan
Ahmad, naskh tersebut diperbolehkan sebab keduanya merupakan wahyu dan naskh
itu sendiri adalah salah satu penjelasan. Allah berfirman :

Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS.
An-Najm/53: 3-4)

Artinya: “Keterangan –keterangan (mu`jizat) dan kitab kitab. Dan kami turunkan
kepadamu al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS.an-Nahl/16:44)
3.
Sunnah dengan al-Qur`an
Para jumhur ulama memperbolehkan
naskh ini.
Contoh: Permasalahan mengenai
menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah sedangkan didalam al-Qur`an
tidak terdapat dalil yang menunjukkan hal tersebut. Ketetapan tersebut kemudian
dinaskh oleh al-Qur`an dengan firman:

Artinya : “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kea rah masjidil haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang orang (yahudi dan nasrani) yang diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari tuhannya dan Allah sekali kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (QS. Al-Baqarah/2: 144)
4.
Sunnah dengan Sunnah
Naskh dalam kategori ini terdapat
empat bentuk, antara lain:
a.
Sunnah mutawatir dengan sunnah
mutawatir
b.
Sunnah ahad dengan sunnah ahad
c.
Sunnah ahad dengan mutawatir
d.
Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad
Bentuk a,b dan c diperbolehkan
sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat seperti halnya naskh al-qur`an
dengan hadits ahad , yang tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama.[3]
Di dalam Al-Qur’an menurut
al-Zarkasyi terdapat tiga macam naskh, khususnya dari segi tilawah dan
hukumnya, yaitu:
1.
Naskh dari segi bacaan dan hukumnya
sekaligus.
Bacaan dan tulisan ayat
sudah tidak ada lagi, sekaligus hokum ajarannya telah terapus dan diganti
dengan hokum baru. Contoh, ayat mengenai keharaman kawin dengan saudara
sepersusuan. Hokum naskh ini telah disepakati oleh para ulama melalui ijma.
Dalil yang menunjukkan terjadinya naskh ini yakni HR. Muslim dari Aisyah.
“Dari
‘Aisyah r.a. berkata: “Termasuk ayat Al-Qur’an yang dinuzulkan (yaitu ayat yang
menerangkan) sepuluh kali susuan yang diketahui itu menjadikan mahram (haram
dikawini), lalu dinasakh dengan lima kali susuan yang nyala. Maka menjelang
wafat Rasulullah, ayat-ayat itu masih termasuk yang dibaca dari al-Qur’an.[4]
Menurut al-Qadhi Abu
Bakar orang yang menolak nasakh tidak membenarkan nasakh ini dikarenakan telah
ditetapkan oleh hadis ahad.
2.
Nasakh hukumnya tanpa menasakh
bacaannya.
Tulisan dan bacaan
tetap serta boleh dibaca, namun isi hukumnya sudah dihapus. Contoh: pada surat
Al-Baqarah ayat 240 yang berisi tentang istri-istri yang dicerai oleh suami
kemudian sang istri harus ber-iddah selama satu tahun serta masih berhak
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Ketentuan diatas dihapus oleh surat
Al-Baqarah ayat 234 sehingga keharusan iddah satu tahun sudah tidak berlaku
lagi.
3.
Menaskh bacaan ayat tanpa menaskh
hukumnya.
Al-Aamidi
rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh
(penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan
kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam.[5]
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam.[5]
Tulisan ayatnya
dihapus, sedangkan hukumnya masih berlaku. Dalil yang menetapkan adanya naskh
ini adalah hadits Umar bin Khaththab dan Ubay bin Ka’ab yang berkata:
“Termasuk
dari ayat Al-Qur’an yang diturunkan adalah ayat yang artinya “Orang tua
laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berina, maka rajamlah
sekaligus sebagai balasan dari Allah”.
C. Bentuk-bentuk
Naskh
Ada
beberapa bentuk naskh, antara lain:
1.
Naskh Sarih
Naskh sarih yaitu ayat yang
menghapuskan hukum secara tegas yang terdapat dalam ayat terdahulu.
Contoh: QS.al-Anfal :65-66, yang
berisi mengenai perang yang mengharuskan perbandingan antara muslim dan kafir
adalah 1:10 di-naskh dengan ayat yang mengharuskan hanya 1:2 dalam masalah yang
sama

Artinya: “Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu`min itu untuk berperang, jika
ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang(yang sabar) di antaramu,
mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang orang kafir, disebabkan orang
orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di
antaramu seratus orang yang sabar niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang; dan jika ada di antaramu seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah . Dan Allah beserta orang orang
yang sabar ”. (QS.al-Anfal /8:65-66).
2.
Naskh Dimni
Naskh dimni yaitu jika ada ketentuan
hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat
yang datang kemudian dan ia menasakh ayat yang terdahulu.
Contoh: ayat yang berisi mengenai
kewajiban wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
3.
Naskh Kulli
Naskh kulli yaitu menasakh hukum yang
datang sebelumnya secara keseluruhan.
Contoh: mengenai ketentuan hukum Idah
satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang di-naskh dengan
idah 4 bulan 10 hari.

Artinya: “Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234).
4.
Naskh Juz`i
Naskh juz’i yaitu menaskh hukum yang
mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh
hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat mubayyad (terbatas).
Contoh:

Artinya: “Dan orang orang menuduh wanita wanita yang baik baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (orang
yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan janaganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama lamanya. Dan mereka itulah orang orang fasiq (4). Kecuali
orang-orang yang bertaubat sesudah itu, dan memperbaiki (dirinya) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang orang yang
menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi saksi
selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali
bersumpah dengan nama Allah. Sesungguhnya dia adalah termasuk orang orang yang
benar”. (QS. An-Nur /24: 4-6)
D. Pendapat
Para Ulama Mengenai Nasakh
Pembahasan mengenai nasakh dan
mansukh mengundang beberapa perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Sebagian
ulama berpendapat ada ayat yang bertentangan serta
tidak bisa dikompromikan. Dengan demikian ada naskh dalam al-Qur`an. Segolongan
ulama pun ada yang berpendapat bahwa ayat yang dikatakan tampak bertentangan
bisa dikompromikan sehingga tidak ada naskh dalam al-qur`an.
1.
Ulama yang mengakui Nasikh dan
mansukh
Ulama yang mengakui adanya nasikh dan
mansukh antara lain:
a.
Imam Syafi`i
Berdasarkan firman Allah:

Artinya: “Ayat mana saja yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha kuasa atas
segala sesuatu?”. (QS.al-Baqarah/2: 106)

Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata ” Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada ada saja.”Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (QS.an-Nahl/16: 101)
b.
Ibnu Kasir
Dalam kitabnya, beliau menyatakan
bahwa:
”Sesungguhnya rasio tidak ada alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh
(Pembatalan) dalam hukum-hukum Allah, karena Allah menetapkan hukum menurut
kehendakNya dan melakukan apa saja yang dikehendakiNya.”
c.
Al-Maragi
Dalam kitabnya beliau menyatakan
bahwa:
“Sesungguhnya hukum–hukum itu tidak diundangkan kecuali untuk kepentingan
manusia. Hal ini dapat berbeda karena berbeda waktu dan tempat. Jika suatu
hukum diundangkan karena dirasakan perlu adanya hukum itu, kemudian keperluan
itu berakhir, maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan
menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu. Dengan demkian
hukum lebih menjadi lebih baik dari yang semula atau sama dari segi manfaat
untuk hamba-hamba Allah.”
d.
Muhammad Rasyid Rida
Didalam kitabnya, beliau menyatakan
bahwa:
“Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan
lingkungan, serta situasi. Apabila suatu hukum diundangkan pada suatu waktu karena
kebutuhan pada hukum itu, kemudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada waktu
lain, maka adalah suatu tindakan bijaksana membatalkan hukum itu dan
menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu.”
e.
Sayid Qutub
Sayid Qutub berpendapat bahwa ayat
itu merupakan sanggahan terhadap pendirian orang-orang Yahudi yang
mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan alasan bahwa
Allah SWT tidak mungkin menghapuskan hukum-hukumNya dalam Taurat. Selain itu
mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai
perpindahan kiblat dari Masjidilaqsa ke Masjidilharam, maupun mengenai
perubahan-perubahan petunjuk, hukum, dan perintah yang akan terjadi sebagai
akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam menuriut situasi dan kondisi mereka
yang berkembang.[6]
f.
Manna Khalil al-Qattan
Beliau berpendapat bahwa apa yang
cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang
lain. Perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama
dengan perjalanan sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian
juga hikmah tasyri` pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri` pada
periode yang lain . Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu
tasyri` dengan tasyri` yang lain untuk menjaga kepentingan para hambaNya
Para
pendukung naskh berpendapat bahwa naskh dilakukan jika:
1.
Jika terdapat dua ayat hukum yang
saling berlawanan serta tidak dapat dikompromikan,
2.
Harus diakui meyakinkan urutan
turunnya ayat ayat tersebut, yang lebih dahulu turun ditetapkan sebagai mansukh
dan yang kemudian sebagai nasikh,
3.
Hukum yang mansukh tidak bersifat
abadi, tetapi bersifat sementara. Karena itu hanya ayat-ayat tertentu yang bisa
di-naskh.
Ada beberapa ayat yang tidak bisa dinaskh. Hal ini dikarenakan
oleh beberapa sebab,
diantaranya:
a.
Ayat ayat tersebut ada yang
mengandung hukum pokok yang tidak bisa berubah dengan sebab berubahnya situasi
dan kondisi manusia.
Contoh: ayat yang berkaitan dengan
akidah, ibadah, keadilan, dan amanah
b.
Ayat –ayat tersebut ada yang secara
tekstual menunjukkan ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa.
c.
Ayat-ayat tersebut ada yang berisi
berita yang tidak mengandung perintah serta larangan.
Contoh: kabar tentang umat –umat
terdahulu.
2.
Ulama yang menolak nasikh dan mansukh
Berikut adalah para ulama yang
menolak adanya nasikh dan mansukh:
1.
Abu Muslim al-Asfahani (tokoh
mu`tazilah)
2.
Imam ar-Razi
3.
Muhammad Abduh
4.
Dr.Taufiq Sidqi
5.
Muhammad Khudari Bek
6.
Muhammad Abduh
Para ulama yang menolak adanya naskh dan mansukh
mempunyai alasan yang berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang sama dengan
yang dikemukakan oleh para ulama yang mendukung adanya naskh namun dengan
penafsiran yang berbeda. Berikut alasan-alasan mereka:
1.
Kandungan pada surat al-Baqarah ayat
106, para pendukung naskh berpendapat bahwa adanya naskh dalam al-Qur’an
ditujukan untuk para kaum Yahudi yang telah mengingkari al-Qur’an atau merujuk
pada wahyu yang diturunkan sebelum al-Qur’an yang kemudian pada akhirnya
digantikan oleh al-Qur’an. Sehingga dapat dikatakan bahwa hokum-hukum yang
terdapat didalam kitab suci sebelum datangnya al-Qur’an diganti dengan yang
lebih baik, yaitu al-Qur’an.
Kandungan pada surat
an-Nahl ayat 101, jika dilihat dari segi turunnya, ayat tersebut ditujukan untuk
orang kafir yang tidak mempercayai kerasulan Muhammad SAW., karena hukum yang
berada didalam al-Qur’an tidak sama dengan isi kitab –kitab yang datang sebelum
al-Qur’an. Orang-orang kafir berpendapat bahwa jika al-Qur’an benar-benar dari
Allah SWT., maka tidak akan berbeda dengan kitab sebelumnya. Kemudian Allah
SWT. menjawab bahwa Dia lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-hambaNya
untuk setiap zaman.
2.
Jika didalam al-Qur’an terdapat ayat
yang dimansukh, berarti didalamnya terdapat kesalahan serta saling berlawanan.
Akan tetapi, al-Qur’an sendiri telah menegaskan bahwa:

Artinya: “Yang tidak
datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya,
yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji .” (QS. Fush-shilat/41:42)
3.
Rasulullah tidak pernah menyatakan
mengenai naskh dalam al-Qur’an. Jika ada, Rasulullah pasti sudah dijelaskan
oleh beliau.
4.
Para pendukung naskh mengatakan
bahwa hadits-hadits tersebut dinilai sebagai pe-nasikh ayat al-Qur’an, seperti
hadits “Tidak
ada wasiat bagi penerima waris”
(HR.Bukhari , Abu Daud , Attarmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Darul-Qutni, dan
Ahmad Bin Hanbal). Hadits tersebut bukanlah hadits mutawatir melainkan hadits
ahad yang tidak sederajat dengan al-Qur`an.
5.
Dikalangan para pendukung naskh tidak
ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat yang mansukh.
Contoh: Menurut an-Nuhas terdapat 100
ayat lebih yang mansukh, asy-Syuyuti 20 ayat, sedangkan asy-Syaukani berhasil
mengkompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh asy-Syuyuti tidak dikompromikan.
E. Ayat
yang Terkena Nasakh
Para ulama dan ushul sepakat bahwa
nasakh hanya terjadi pada ayat amar
(perintah) dan nahi (larangan) hatta amar dan nahi itu dalam bentuk khabar
(kalimat berita) yang mempunyai pesan thalab
(permintaan)[7].
Naskh tidak terjadi pada kalimat yang berbentuk khabar dan tidak bermakna thalab. Kategori ayat yang tidak terkena
naskh yaitu janji (wa’d), ancaman (wa’id) dan cerita mengenai berbagai
umat.
Contoh:
1.
Dalam hal qishash, Allah berfirman pada
QS. Al-Maidah:45
2.
Mengenai jihad, Allah berfirman pada QS.
Ali Imran:146
3.
Tentang akhlak, Allah berfirman pada QS.
Luqman:18
F.
Hikmah Naskh Dalam Al-Qur’an
Menurut Manna al-Qaththan ada lima
kategori hikmah yang terkandung didalam naskh, yaitu:
1.
Adanya naskh untuk menunjukkan bahwa
syariat Islam merupakan syarat yang paling sempurna yang menasakh
syariat-syariat yang telah datang sebelumnya. Karena syariat Islam berlaku
untuk setiap situasi dan kondisi adanya naskh berfungsi menjaga kemaslahatan
umat.
2.
Hikmah Naskh Tanpa Pengganti
Ada naskh terhadap
suatu hukum namun tidak ditentukan hukum lain untuk menggantikannya, selain
bahwa ketentuan hukumnya sudah berubah.
Contoh: naskh terhadap
hukum wajib memberikan sedekah sebelum menghadap Rasulullah dari ayat 12 surat
al-Maidah kemudian dihapuskan oleh ayat 13 (mansukh), tetapi tidak disebutkan
hukum penggantinya, karena kewajiban itu sudah tidak berlaku lagi.
Hikmah ini bertujuan
untuk menjaga kemaslahatan manusia, sebab penghapusan kewajiban bersedekah itu
lebih baik, lebih memudahkan, serta lebih menyenangkan mereka.
3.
Hikmah Naskh dengan Pengganti yang
Seimbang
Disamping menghapus
suatu ketentuan, naskh juga menetapkan hukum baru sebagai penggantinya.
Biasanya penggantian itu sering seimbang atau sama dengan hukm yang dihapus.
Contoh: naskh mengenai
ketentuan menghadap kiblat ke Bait al-Muqaddas yang terdapat didalam QS.
Al-Baqarah ayat 144.
4.
Hikmah Naskh dengan Pengganti yang Lebih
Berat
Dapat dilihat didalam
QS. Al-Nisa’ ayat 15 yang berisi tentang hukuman kurungan kepada istri yang
selingkuh. Ketentuan tersebut kemudian dinaskh dengan hukum jilid (hokum yang
lebih berat) sebanyak 100 kali seperti yang tercantum didalam QS. Al-Nur ayat
2.
5.
Hikmah Naskh dengan Pengganti yang Lebih
Ringan
Seperti pada surat al-Anfal ayat 65
yang kemudian dinaskh dengan ayat 66 surat yang sama mengenai rasio kekuatan
tentara Islam dengan tentara musuh yaitu 1:10 diganti atau dinaskh menjadi 1:2.
Hal ini bertujuan utuk memberikan keringanan kepada umat agar mampu merasakan
kemurahan Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskh mempunyai banyak arti, antara
lain menghapus dan menghilangkan, mengganti dan
menukar, memalingkan atau pengalihan, dll. Macam-macam naskh antara lain
al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan Sunnah, Sunnah dengan al-Qur’an,
Sunnah dengan Sunnah. Menurut al-Zarkasyi terdapat tiga macam naskh,
yaitu Naskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus, Nasakh hukumnya tanpa
menasakh bacaannya, dan Menaskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya. Bentuk naskh pun bermacam-macam, antara lain Naskh Sarih,
Naskh Dimni, Naskh Kulli, serta Naskh Juz`i. Sebagian
ulama ada yang mengakui adanya naskh dan sebagian ulama tidak mengakui adanya
naskh. Mereka mempunyai alasan mengapa mereka tidak sepakat dengan adanya
naskh. Menurut Manna al-Qaththan ada lima kategori hikmah yang
terkandung didalam naskh. Ada beberapa ayat yang terkena naskh, antara lain QS.
Al-Mu’minun, ayat 1 dan 2, QS. Al-Mu’minun, ayat 12-14, QS. Hud, ayat 25, dan QS.
Al-Buruj, ayat 10
DAFTAR PUSTAKA
Supiana
dan Karman.. Ulumul Quran.. Pustaka
Islamika
Marzuki,
Kamaluddin. 1994. ‘Ulum al-Qur’an.
Bandung. PT Remaja Rosdakarya
Al-Qaththan,
Syaikh Manna’. 2011. Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an. Jakarta Timur. Pustaka Al-Kautsar
http://
shofiulloh.blogspot.com
http://
almanhaj.or.id/content/3087/slash/0
[2] Syaikh Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an.2011, hal 286
[3]
http://shofiulloh.blogspot.com (11
November 2011, 10:01 PM)
[5]
http://almanhaj.or.id/content/3087/slash/0
Saturday, 26 November 2011, 7:13 AM
[7] Kamaludin
Marzuki, ‘Ulumul Qur’an (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya), hal 141-142
No comments:
Post a Comment