Tuesday, 10 July 2012

Nasikh dan Mansukh


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            Ilmu nasikh wa mansukh masih menjadi berdebatan yang cukup menarik dikalangan para ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa naskh diperbolehkan dan sebagian ulama pun juga berpendapat bahwa naskh itu tidak diperbolehkan. Merujuk pada surat an-Nisa ayat 82 yang artinya : Seandainya (Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak”, mereka berbeda pendapat mengenai bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Di dalam Al-Quran sendiri, kata naskh ditemukan sebanyak empat kali, antara lain pada QS. Al-Baqarah/2:106, QS. Al-`Araf/7:154, QS. Al-Hajj / 22:52, dan QS. Al-Jatsiah / 45:29.
            Ada yang mengatakan bahwa ide naskh merupakan “min akbar al-kawârits al-fikriyyah” (salah satu malapetaka pemikiran terbesar) yang menjadikan para ulama salaf tergelincir serta tertipu.
            Para ulama telah berijma‘ bahwa naskh itu ‘boleh’ secara akal, dan ‘terjadi’ secara pendengaran (jâ’iz ‘aqlan wa wâqi‘ sam‘an). Dan hanya Abu Muslim al-Ashfahânî saja yang menyatakan ‘boleh’, tetapi ia (naskh) bukan menjadi satu realita (tidak terjadi). Sehingga menjadi menarik untuk ditelusuri karena masalah naskh ini sangat erat kaitannya dengan istinbâth al-ahkâm (menyimpulkan satu hukum). Dengan demikian harus benar diketahui dan dibahas secara serius.[1]
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan nasakh dan mansukh?
2.      Apa saja macam-macam nasakh?
3.      Apa saja bentuk-bentuk naskh?
4.      Bagaimana pendapat para ulama mengenai naskh?
5.      Apa saja ayat yang terkena naskh?
6.      Apa saja hikmah mengetahui naskh?


C.     TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui pengertian nasikh dan mansukh
2.      Untuk mengetahui macam-macam nasakh
3.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk naskh
4.      Untuk mengetahui pendapat para ulama mengenai naskh
5.      Untuk mengetahui ayat yang terkena naskh
6.      Untuk mengetahui hikmah naskh


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh berasal dari kata naskh yang mempunyai arti secara etimologi yaitu menghapus dan menghilangkan (al-izaalat, seperti yang terdapat didalam QS. Al-Hallaj:52), mengganti dan menukar (at-tabdiil, seperti yang terdapat didalam QS. An-Nahl:101), memalingkan atau pengalihan (at-tahwiil, sebagai yang berlaku dalam ilmu faraidh), dan menukilkan, memindahkan atau mengutip (an-naql, seperti kalimat nasakhtu al-kitab). Dari sekian banyak pengertian nasakh seperti yang diatas, menurut tarjih ahli bahasa pengertian nasakh yang paling mendekati kebenaran yaitu al-izaalah, yakni mengangkat sesuatu dan menetapkan yang lain pada tempatnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan nasikh yaitu sesuatu yang menghapus, mengganti dan membatalkan atau yang tidak memberlakukan.
Mansukh adalah hokum yang diangkat atau yang dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung didalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat sebagaimana akan dijelaskan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
1.      Hukum yang mansukh adalah hukum syara’;
2.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khithab yang hukumnya dimansukh.
3.      Khithab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.[2]
            Arti nasikh dan mansukh secara terminologi yaitu membatalkan pelaksanaan hukum syara dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusannya secara jelas atau implisit (dhimni). Baik penghapusan itu secara keseluruhan atau sebagian, menurut kepentingan yang ada. Atau melahirkan dalil yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.
Pengertian nasikh dan mansukh secara terminolgi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1.         Menurut ulama Mutakadimin (abad ke 1 hingga abad ke 3 H), arti nasikh dan mansukh secara terminologi ada 3, yaitu:
a.    Pembatalan hukum yang ditetapkan kemudian
b.    Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
c.    Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas (samar), dan penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Selain itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa istilah tersebut berarti pembatalan ketetapan hukum yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh ketetapan lain yang berbeda akibat munculnya kondisi lain. Sebagai contoh kaum muslimin pada periode Mekkah diperintah untuk bersabar. Hal ini dikarenakan kondisi mereka yang lemah kemudian di naskh oleh adanya perintah berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka yang sudah kuat.
2.         Menurut ulama Muta`akhirin ( setelah abad 3 H), naskh merupakan suatu ketentuan hukum yang datang kemudian untuk membatalkan masa berlakunya hukum terdahulu. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketetapan hukum terdahulu tidak berlaku lagi dikarenakan adanya ketetapan hukum yang baru.

B.     Macam-macam Nasakh
1.      Al-Qur`an dengan al-Qur`an
Bagian ini telah disepakati kebolehannya dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh.
Contoh :
Artinya: “Dan orang –orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri ,hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu ) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) , maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.al-Baqarah/2: 240)
Artinya: “Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234)
Sebagian berpendapat bahwa pada ayat pertama muhkam. Hal ini disebabkan karena ayat pertama berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri tidak keluar dari rumah suami serta tidak kawin lagi. Namun ayat kedua berkenaan dengan masalah iddah. Dapat disimpulkan bahwa diantara kedua ayat tersebut tidak ada pertentangan.
2.      Al-Qur`an dengan Sunnah
Nasakh ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.       Naskh al-Qur`an dengan Hadits Ahad
Menurut para jumhr ulama, al-Qur’an tidak boleh dinaskh oleh hadits ahad. Hal ini dikarenakan al-Qur’an adalah mutawatir dan yakin, namun hadits ahad dzanni, bersifat dugaan. Sehingga tidak sah jika menghapuskan sesuatu yang jelas diketahui dengan yang diduga.
b.      Naskh al-Qur`an dengan Hadits Mutawatir
Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad, naskh tersebut diperbolehkan sebab keduanya merupakan wahyu dan naskh itu sendiri adalah salah satu penjelasan. Allah berfirman :
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm/53: 3-4)
Artinya: “Keterangan –keterangan (mu`jizat) dan kitab kitab. Dan kami turunkan kepadamu al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS.an-Nahl/16:44)
3.      Sunnah dengan al-Qur`an
Para jumhur ulama memperbolehkan naskh ini.
Contoh: Permasalahan mengenai menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah sedangkan didalam al-Qur`an tidak terdapat dalil yang menunjukkan hal tersebut. Ketetapan tersebut kemudian dinaskh oleh al-Qur`an dengan firman:

Artinya : “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kea rah masjidil haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang orang (yahudi dan nasrani) yang diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari tuhannya dan Allah sekali kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (QS. Al-Baqarah/2: 144)
4.      Sunnah dengan Sunnah
Naskh dalam kategori ini terdapat empat bentuk, antara lain:
a.       Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir
b.      Sunnah ahad dengan sunnah ahad
c.       Sunnah ahad dengan mutawatir
d.      Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad
Bentuk a,b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat seperti halnya naskh al-qur`an dengan hadits ahad , yang tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama.[3]
            Di dalam Al-Qur’an menurut al-Zarkasyi terdapat tiga macam naskh, khususnya dari segi tilawah dan hukumnya, yaitu:
1.      Naskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus.
Bacaan dan tulisan ayat sudah tidak ada lagi, sekaligus hokum ajarannya telah terapus dan diganti dengan hokum baru. Contoh, ayat mengenai keharaman kawin dengan saudara sepersusuan. Hokum naskh ini telah disepakati oleh para ulama melalui ijma. Dalil yang menunjukkan terjadinya naskh ini yakni HR. Muslim dari Aisyah.
“Dari ‘Aisyah r.a. berkata: “Termasuk ayat Al-Qur’an yang dinuzulkan (yaitu ayat yang menerangkan) sepuluh kali susuan yang diketahui itu menjadikan mahram (haram dikawini), lalu dinasakh dengan lima kali susuan yang nyala. Maka menjelang wafat Rasulullah, ayat-ayat itu masih termasuk yang dibaca dari al-Qur’an.[4]
Menurut al-Qadhi Abu Bakar orang yang menolak nasakh tidak membenarkan nasakh ini dikarenakan telah ditetapkan oleh hadis ahad.
2.      Nasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya.
Tulisan dan bacaan tetap serta boleh dibaca, namun isi hukumnya sudah dihapus. Contoh: pada surat Al-Baqarah ayat 240 yang berisi tentang istri-istri yang dicerai oleh suami kemudian sang istri harus ber-iddah selama satu tahun serta masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Ketentuan diatas dihapus oleh surat Al-Baqarah ayat 234 sehingga keharusan iddah satu tahun sudah tidak berlaku lagi.
3.      Menaskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam.[5]
Tulisan ayatnya dihapus, sedangkan hukumnya masih berlaku. Dalil yang menetapkan adanya naskh ini adalah hadits Umar bin Khaththab dan Ubay bin Ka’ab yang berkata:
“Termasuk dari ayat Al-Qur’an yang diturunkan adalah ayat yang artinya “Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berina, maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah”.

C.     Bentuk-bentuk Naskh
Ada beberapa bentuk naskh, antara lain:
1.      Naskh Sarih
Naskh sarih yaitu ayat yang menghapuskan hukum secara tegas yang terdapat dalam ayat terdahulu.
Contoh: QS.al-Anfal :65-66, yang berisi mengenai perang yang mengharuskan perbandingan antara muslim dan kafir adalah 1:10 di-naskh dengan ayat yang mengharuskan hanya 1:2 dalam masalah yang sama
Artinya: “Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu`min itu untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang(yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang orang kafir, disebabkan orang orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika ada di antaramu seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah . Dan Allah beserta orang orang yang sabar ”. (QS.al-Anfal /8:65-66).
2.      Naskh Dimni
Naskh dimni yaitu jika ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian dan ia menasakh ayat yang terdahulu.
Contoh: ayat yang berisi mengenai kewajiban wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
3.      Naskh Kulli
Naskh kulli yaitu menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan.
Contoh: mengenai ketentuan hukum Idah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang di-naskh dengan idah 4 bulan 10 hari.
Artinya: “Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234).
4.      Naskh Juz`i
Naskh juz’i yaitu menaskh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat mubayyad (terbatas).
Contoh:
Artinya: “Dan orang orang menuduh wanita wanita yang baik baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (orang yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan janaganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama lamanya. Dan mereka itulah orang orang fasiq (4). Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu, dan memperbaiki (dirinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah. Sesungguhnya dia adalah termasuk orang orang yang benar”. (QS. An-Nur /24: 4-6)

D.    Pendapat Para Ulama Mengenai Nasakh
            Pembahasan mengenai nasakh dan mansukh mengundang beberapa perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Sebagian ulama berpendapat ada ayat yang bertentangan serta tidak bisa dikompromikan. Dengan demikian ada naskh dalam al-Qur`an. Segolongan ulama pun ada yang berpendapat bahwa ayat yang dikatakan tampak bertentangan bisa dikompromikan sehingga tidak ada naskh dalam al-qur`an.
1.      Ulama yang mengakui Nasikh dan mansukh
Ulama yang mengakui adanya nasikh dan mansukh antara lain:
a.       Imam Syafi`i
Berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Ayat mana saja yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu?”. (QS.al-Baqarah/2: 106)
Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata ” Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada ada saja.”Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (QS.an-Nahl/16: 101)
b.      Ibnu Kasir
Dalam kitabnya, beliau menyatakan bahwa:
”Sesungguhnya rasio tidak ada alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh (Pembatalan) dalam hukum-hukum Allah, karena Allah menetapkan hukum menurut kehendakNya dan melakukan apa saja yang dikehendakiNya.”
c.       Al-Maragi
Dalam kitabnya beliau menyatakan bahwa:
“Sesungguhnya hukum–hukum itu tidak diundangkan kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena berbeda waktu dan tempat. Jika suatu hukum diundangkan karena dirasakan perlu adanya hukum itu, kemudian keperluan itu berakhir, maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu. Dengan demkian hukum lebih menjadi lebih baik dari yang semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba Allah.”
d.      Muhammad Rasyid Rida
Didalam kitabnya, beliau menyatakan bahwa:
“Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan lingkungan, serta situasi. Apabila suatu hukum diundangkan pada suatu waktu karena kebutuhan pada hukum itu, kemudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada waktu lain, maka adalah suatu tindakan bijaksana membatalkan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu.”
e.       Sayid Qutub
Sayid Qutub berpendapat bahwa ayat itu merupakan sanggahan terhadap pendirian orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan alasan bahwa Allah SWT tidak mungkin menghapuskan hukum-hukumNya dalam Taurat. Selain itu mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai perpindahan kiblat dari Masjidilaqsa ke Masjidilharam, maupun mengenai perubahan-perubahan petunjuk, hukum, dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam menuriut situasi dan kondisi mereka yang berkembang.[6]
f.       Manna Khalil al-Qattan
Beliau berpendapat bahwa apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanan sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri` pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri` pada periode yang lain . Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri` dengan tasyri` yang lain untuk menjaga kepentingan para hambaNya
Para pendukung naskh berpendapat bahwa naskh dilakukan jika:
1.      Jika terdapat dua ayat hukum yang saling berlawanan serta tidak dapat dikompromikan,
2.      Harus diakui meyakinkan urutan turunnya ayat ayat tersebut, yang lebih dahulu turun ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh,
3.      Hukum yang mansukh tidak bersifat abadi, tetapi bersifat sementara. Karena itu hanya ayat-ayat tertentu yang bisa di-naskh.
      Ada beberapa ayat yang tidak bisa dinaskh. Hal ini dikarenakan oleh beberapa                   sebab, diantaranya:
a.         Ayat ayat tersebut ada yang mengandung hukum pokok yang tidak bisa berubah dengan sebab berubahnya situasi dan kondisi manusia.
Contoh: ayat yang berkaitan dengan akidah, ibadah, keadilan, dan amanah
b.         Ayat –ayat tersebut ada yang secara tekstual menunjukkan ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa.
c.         Ayat-ayat tersebut ada yang berisi berita yang tidak mengandung perintah serta larangan.
Contoh: kabar tentang umat –umat terdahulu.
2.      Ulama yang menolak nasikh dan mansukh
Berikut adalah para ulama yang menolak adanya nasikh dan mansukh:
1.      Abu Muslim al-Asfahani (tokoh mu`tazilah)
2.      Imam ar-Razi
3.      Muhammad Abduh
4.      Dr.Taufiq Sidqi
5.      Muhammad Khudari Bek
6.      Muhammad Abduh
            Para ulama yang menolak adanya naskh dan mansukh mempunyai alasan yang berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang sama dengan yang dikemukakan oleh para ulama yang mendukung adanya naskh namun dengan penafsiran yang berbeda. Berikut alasan-alasan mereka:
1.      Kandungan pada surat al-Baqarah ayat 106, para pendukung naskh berpendapat bahwa adanya naskh dalam al-Qur’an ditujukan untuk para kaum Yahudi yang telah mengingkari al-Qur’an atau merujuk pada wahyu yang diturunkan sebelum al-Qur’an yang kemudian pada akhirnya digantikan oleh al-Qur’an. Sehingga dapat dikatakan bahwa hokum-hukum yang terdapat didalam kitab suci sebelum datangnya al-Qur’an diganti dengan yang lebih baik, yaitu al-Qur’an.
Kandungan pada surat an-Nahl ayat 101, jika dilihat dari segi turunnya, ayat tersebut ditujukan untuk orang kafir yang tidak mempercayai kerasulan Muhammad SAW., karena hukum yang berada didalam al-Qur’an tidak sama dengan isi kitab –kitab yang datang sebelum al-Qur’an. Orang-orang kafir berpendapat bahwa jika al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT., maka tidak akan berbeda dengan kitab sebelumnya. Kemudian Allah SWT. menjawab bahwa Dia lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-hambaNya untuk setiap zaman.
2.      Jika didalam al-Qur’an terdapat ayat yang dimansukh, berarti didalamnya terdapat kesalahan serta saling berlawanan. Akan tetapi, al-Qur’an sendiri telah menegaskan bahwa:
Artinya: Yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji .” (QS. Fush-shilat/41:42)
3.      Rasulullah tidak pernah menyatakan mengenai naskh dalam al-Qur’an. Jika ada, Rasulullah pasti sudah dijelaskan oleh beliau.
4.      Para pendukung naskh mengatakan bahwa hadits-hadits tersebut dinilai sebagai pe-nasikh ayat al-Qur’an, seperti hadits Tidak ada wasiat bagi penerima waris” (HR.Bukhari , Abu Daud , Attarmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Darul-Qutni, dan Ahmad Bin Hanbal). Hadits tersebut bukanlah hadits mutawatir melainkan hadits ahad yang tidak sederajat dengan al-Qur`an.
5.      Dikalangan para pendukung naskh tidak ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat yang mansukh.
Contoh: Menurut an-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang mansukh, asy-Syuyuti 20 ayat, sedangkan asy-Syaukani berhasil mengkompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh asy-Syuyuti tidak dikompromikan.
E.     Ayat yang Terkena Nasakh
            Para ulama dan ushul sepakat bahwa nasakh hanya terjadi pada ayat amar (perintah) dan nahi (larangan) hatta amar dan nahi itu dalam bentuk khabar (kalimat berita) yang mempunyai pesan thalab (permintaan)[7]. Naskh tidak terjadi pada kalimat yang berbentuk khabar dan tidak bermakna thalab. Kategori ayat yang tidak terkena naskh yaitu janji (wa’d), ancaman (wa’id) dan cerita mengenai berbagai umat.
Contoh:
1.      Dalam hal qishash, Allah berfirman pada QS. Al-Maidah:45
2.      Mengenai jihad, Allah berfirman pada QS. Ali Imran:146
3.      Tentang akhlak, Allah berfirman pada QS. Luqman:18

F.      Hikmah Naskh Dalam Al-Qur’an
            Menurut Manna al-Qaththan ada lima kategori hikmah yang terkandung didalam naskh, yaitu:
1.      Adanya naskh untuk menunjukkan bahwa syariat Islam merupakan syarat yang paling sempurna yang menasakh syariat-syariat yang telah datang sebelumnya. Karena syariat Islam berlaku untuk setiap situasi dan kondisi adanya naskh berfungsi menjaga kemaslahatan umat.
2.      Hikmah Naskh Tanpa Pengganti
Ada naskh terhadap suatu hukum namun tidak ditentukan hukum lain untuk menggantikannya, selain bahwa ketentuan hukumnya sudah berubah.
Contoh: naskh terhadap hukum wajib memberikan sedekah sebelum menghadap Rasulullah dari ayat 12 surat al-Maidah kemudian dihapuskan oleh ayat 13 (mansukh), tetapi tidak disebutkan hukum penggantinya, karena kewajiban itu sudah tidak berlaku lagi.
Hikmah ini bertujuan untuk menjaga kemaslahatan manusia, sebab penghapusan kewajiban bersedekah itu lebih baik, lebih memudahkan, serta lebih menyenangkan mereka.
3.      Hikmah Naskh dengan Pengganti yang Seimbang
Disamping menghapus suatu ketentuan, naskh juga menetapkan hukum baru sebagai penggantinya. Biasanya penggantian itu sering seimbang atau sama dengan hukm yang dihapus.
Contoh: naskh mengenai ketentuan menghadap kiblat ke Bait al-Muqaddas yang terdapat didalam QS. Al-Baqarah ayat 144.
4.      Hikmah Naskh dengan Pengganti yang Lebih Berat
Dapat dilihat didalam QS. Al-Nisa’ ayat 15 yang berisi tentang hukuman kurungan kepada istri yang selingkuh. Ketentuan tersebut kemudian dinaskh dengan hukum jilid (hokum yang lebih berat) sebanyak 100 kali seperti yang tercantum didalam QS. Al-Nur ayat 2.
5.      Hikmah Naskh dengan Pengganti yang Lebih Ringan
Seperti pada surat al-Anfal ayat 65 yang kemudian dinaskh dengan ayat 66 surat yang sama mengenai rasio kekuatan tentara Islam dengan tentara musuh yaitu 1:10 diganti atau dinaskh menjadi 1:2. Hal ini bertujuan utuk memberikan keringanan kepada umat agar mampu merasakan kemurahan Allah SWT.
























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Naskh mempunyai banyak arti, antara lain menghapus dan menghilangkan, mengganti dan menukar, memalingkan atau pengalihan, dll. Macam-macam naskh antara lain al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan Sunnah, Sunnah dengan al-Qur’an, Sunnah dengan Sunnah. Menurut al-Zarkasyi terdapat tiga macam naskh, yaitu Naskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus, Nasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya, dan Menaskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya. Bentuk naskh pun bermacam-macam, antara lain Naskh Sarih, Naskh Dimni, Naskh Kulli, serta Naskh Juz`i.       Sebagian ulama ada yang mengakui adanya naskh dan sebagian ulama tidak mengakui adanya naskh. Mereka mempunyai alasan mengapa mereka tidak sepakat dengan adanya naskh. Menurut Manna al-Qaththan ada lima kategori hikmah yang terkandung didalam naskh. Ada beberapa ayat yang terkena naskh, antara lain QS. Al-Mu’minun, ayat 1 dan 2, QS. Al-Mu’minun, ayat 12-14, QS. Hud, ayat 25, dan QS. Al-Buruj, ayat 10















DAFTAR PUSTAKA

Supiana dan Karman.. Ulumul Quran.. Pustaka Islamika
Marzuki, Kamaluddin. 1994. ‘Ulum al-Qur’an. Bandung. PT Remaja Rosdakarya
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2011. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta Timur. Pustaka Al-Kautsar
http:// shofiulloh.blogspot.com
http:// almanhaj.or.id/content/3087/slash/0


[1] http://shofiulloh.blogspot.com, (11 November 2011, 10:01 PM)
[2] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an.2011, hal 286
[3] http://shofiulloh.blogspot.com (11 November 2011, 10:01 PM)
[4] Supiana dan Karmab, Uumul Qur’an (:Pustaka Islamika), hal 152
[5] http://almanhaj.or.id/content/3087/slash/0 Saturday, 26 November 2011, 7:13 AM
[6] http://shofiulloh.blogspot.com (11 November 2011, 10:01 PM)
[7] Kamaludin Marzuki, ‘Ulumul Qur’an (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hal 141-142

No comments: